Selasa, 29 November 2016

Rindu Twitter Zaman Megalitikum



Nggak terasa sudah 7 tahun gue membuat akun Twitter. Awalnya membuat Twitter karena ingin terlihat keren di depan temen-temen. Maklum, saat itu gue masih di pesantren dan yang sedang naik daun saat itu adalah Facebook. Karena gue sudah memiliki akun Facebook, dan alesan ingin terlihat keren di mata temen-temen, gue pun akhirnya bikin akun Twitter meskipun saat itu belum ngerti apa kegunaan aplikasi tersebut. 

Gue masih inget akun yang pertama kali gue follow waktu itu. Nama akunnya adalah @Pepatah. Alesan gue follow pun karena akun tersebut masuk list, 'who to follow'. Gue sempet baca beberapa cuitannya yang berisi kata-kata mutiara sebelum memastikan mengklik tombol follow. Dari akun tersebut, gue tulis satu persatu twitnya di sebuah note kecil yang entah sekarang ada di mana. 

Di dalam note itu, gue suka menulis kata-kata mutiara dari orang-orang terkenal di seluruh dunia yang biasanya ditaruh di pojok kanan atas koran Jawa Pos. Kalau kalian pernah berlangganan koran Jawa Pos dari zaman Romawi kuno, pasti ingat kalau Jawa Pos pernah menampilkan kata-kata mutiara/quote orang-orang keren itu. Tapi, setahun sebelum gue lulus dari Pesantren, gue udah nggak ngebaca lagi kata-kata mutiara karena Jawa Pos menghilangkan kolom tersebut. Gue kangen banget momen ketika berangkat diniyah lalu baca koran di sekolahan dan mencari kolom tersebut. Lalu meulisnya ke dalam note yang gue bawa sebelum memasuki ke kelas. Gue kangen momen itu. 

Semenjak follow @pepatah, referensi gue menulis kata-kata mutiara pun bertambah. Gue seneng. Dari kata-kata itu, kadang gue menjadi guru. Yang mengayomi mereka dengan memberikan kata-kata Jahat buat temen-temen gue yang doyan surat-menyurat dengan kekasihnya meskipun itu kata-kata bukan asli gue yang ngebuat. Btw, di pesantren gue ga dibolehin pacaran. Cuma, ya, namanya anak remaja, pasti bisalah cari-cari kesempatan buat saling jatuh cinta. Mungkin, yang dibutuhkan hanyalah skill jago nyimpen surat biar ga ketahuan pengurus Pesantren. Sebab, kalau kau ketahuan dunia akan terasa seperti kiamat!

Dulu, ketika awal mengenal Twitter, gue belum paham apa itu reply, retweet, ataupun DM. Taunya cuma baca cuitannya orang-orang yang gue follow. Pun untuk membaca sebuah twit, gue harus rela pergi ke warnet terlebih dulu. Berat banget ya? Iya, berat. Kadang kalau ada anak luar pesantren yang ngebawa HP, gue pinjem buat login sebentar sekadar baca-baca twit. Abis itu log out. Sesederhana itu gue main Twitter.

Seiring berjalannya waktu atau tepatnya setelah gue lulus dari pesantren, perlahan Twitter mulai berubah. Pengguna Twitter pun makin meningkat. Perlahan-lahan bahkan ada yang meninggalkan Facebook. Bahkan mereka rela berhijrah dari satu aplikasi, ke aplikasi yang lain. Dampaknya pun bisa gue rasain. Dari Twitter yang sepi pengguna mendadak rame kayak pasar malem. Dari cuitan-cuitan alay berganti haluan menjadi cuitan galau. Ya, gue ngerasain momen awal-awal Twitter meledak di pasaran.

Ada sebuah akun yang isinya motivasi, ada akun yang membahas hubungan jarak jauh, ada yang membahas zodiak, ada pula yang tetap pada jalur remaja hilang arah, cuitannya berisi galau, galau, dan menggalau. Twitter dulu isinya bermacam-macam. Lebih berwarna, lebih beragam dan tentunya lebih asik. Dari keberagaman itu pula, gue pernah ikutan sebuah kuis dari sebuah akun yang isinya menyuruh peserta untuk mempromosikan sebuah akun. Dan pemenangnya ditentukan dari siapa yang ngetwit promosi paling banyak. Gue kalah. Dan pemenangnya gue lihat ngetwit promosi lebih dari 5rb twit. Gendeng emang.

Begitulah isi twitter dulu. Dia masih asik dengan keberagamannya. Sampai suatu ketika, twitter berubah. Menjelang Pilpres 2014, twitter semacam panggung politik. Tiap jam selalu ada saja yang ngetwit membahas Pilpres. Saling menjelekkan satu sama lain.

'Jangan pilih si A. Si A itu suka berak di celana.' Twit seorang pendukung si B.

'Jangan pilih si B. Si B juga ga kalah parah kalau berak.' Sanggah si A, yang sakit hati junjugannya diolok-olok.

24 jam, isinya debat politik. Semenjak menjelang pilpres, gue ngerasa Twitter udah mirip aplikasi khusus debat politik. Orang-orang yang dulu gue follow karena lucu, mendadak menjadi pengamat politik amatiran. Sementara yang baru buat akun Twitter seketika pengen uninstall aplikasinya. Gue sebagai penikmat Twitter hanya bisa menelan ludah dalam-dalam. 

Gue sempet berpikir, bahwa debat politik di Twitter akan selesai setelah Pilpres. Dan setelah itu, Twitter akan kembali normal. Tapi pikiran gue salah. Debat itu masih bergulir sampai sekarang. Dan mungkin, hanya Tuhan yang tau kapan debat politik di Twitter akan berhenti. Karena tiap detik ngomongin politik, pengguna Twitter banyak yang tutup akun. Dan berhijrah ke aplikasi yang lainnya untuk menemukan suasana baru. Sementara gue? Gue tetep memakai Twitter sampai Tuhan berkata waktunya ganti aplikasi.








      



  
Continue reading Rindu Twitter Zaman Megalitikum

Selasa, 22 November 2016

Pantai Sendiki dan Ceritaku



Gue adalah orang yang percaya bahwa setiap perjalanan itu memiliki cerita. Cerita yang baik kadang untuk dikenang. Sedang cerita yang buruk mari kita lupakan. 

Pagi itu, gue belum mandi. Tidak seperti temen-temen gue yang telah cebur-cebur enak di Pantai Goa China. Gue belum mandi karena: gue tidak berenang di Pantai yang ramenya tidak masuk akal. Kedua: dingin yang menusuk jantung membut gue pengin jauh-jauh dari air. Ketiga: gue memang malas mandi di pagi hari.

Sewaktu masih di Pantai Goa China, gue berdebat dengan temen gue. Pagi yang mendung membuat temen gue pesimis bahwa mendung juga dipastikan menghampiri Pantai Sendiki (tujuan pantai selanjutnya). Bukan bermaksud mendahului takdir Tuhan, tapi setidaknya seperti itulah gambaran cuaca sebagian kota Malang pagi itu. Tak sedikit yang menolak ajakan gue menuju ke sana. Dari sebelas anak, empat anak mengajak langsung pulang. Sementara sisanya mengikuti suara terbanyak.

Selain kondisi cuaca yang tak mendukung, temen gue juga mempermasalahakan jalanan menuju Pantai Sendiki yang konon katanya lebih horor dari Pantai Kondang Merak, yang jeblok dan berbatu. Lama kami berdebat, keputusan pun dibuat. Kami menuju Pantai Sendiki pagi itu.

Sepanjang perjalanan, mendung mulai memudar. Cahaya matahari perlahan menyengat di kulit gue. Tentu, cuaca seperti ini yang sangat gue aminkan. Sesampainya di tugu bertuliskan Pantai Sendiki, gue berdoa supaya jalanan yang digambarkan temen gue dalam cerita itu, tak sehoror perkataannya. Kami melewati sebuah perkampungan kecil yang beralaskan aspal yang masih mulus, sebelum diberhentikan oleh jalanan yang ....





Madafaka! Setelah berkendara kurang lebih 1 KM dari tugu bertuliskan Pantai Sendiki, akhirnya gue menemukan apa itu jalanan neraka. Jalanan jeblok, berair. Gue pikir, hanya orang yang memiliki skill khusus yang bisa melalui jalanan tersebut. Bagaimana tidak, kalian salah ambil jeblokan, resikonya bisa terpeleset. Kalau beruntung, palingan motor kalian miring sedikit. Selebihnya, skill kalian yang berbicara.



Di pertengahan jalan, gue bertemu dua sejoli yang lagi jalan kaki menuju pantai. Gue gak kenal mereka itu siapa. Tapi, menurut gue, ini keren! Jika pacar kalian mau diajak jalan kaki di kubangan lumpur, maka jangan ragu untuk kalian nikahin!

Kami pun berhenti di pertengahan. Jalanan yang semakin memburuk membuat sebagian temen-temen gue pesimis untuk melanjutkan perjalanan. Kekecewaan terlihat dari mukanya yang ditekuk. Raut muka memang tak bisa dibohongi.

'Udah, balik aja! jalanannya gak memungkinkan ini.'

'Nanggung, mbot! Wes kate totok iki.' Teriak temen gue yang khas dengan logat jawanya yang kental.



Tak sedikit memang yang mengurungkan niat menuju Pantai Sendiki. Beberapa orang yang ga gue kenal memilih untuk putar balik daripada melanjutkan perjalanan. Mungkin, mereka memiliki alasan lain selain kekecewaan terhadap jalanan yang berlumpur. Tapi, untungnya kekecewaaan itu tak dirasakan oleh seluruh temen-temen gue. Kebayang udah nyampe tengah jalan, motor dah kotor, eh malah putar balik. Ibarat sebuah perang, orang-orang yang putar balik ini adalah orang-orang yang tak melihat surga di depannya. #HalahMbel

Sebenarnya, warga sekitar sudah menyewakan jasa ojek. Kita bisa saja menyewa jasa ojek dari warga sekitar itu. Harganya pun tak cukup mahal. Hanya 10rb sekali perjalanan. Rasanya, dengan harga seperti itu cukup murah daripada motor kalian mendadak terlihat seperti abis partisipasi dalam film Mad Max: Fury Road. Tapi temen-temen gue menolak menggunakan ojek. Pertama, untuk menghemat biaya. Yang kedua, demi terlihat seperti My Trip My Adventure kayak di tv-tv. Alasan yang sangat entahlah.

Puas melewati jalanan Neraka, akhirnya gue sampai di depan loket Pantai Sendiki. Biaya masuk cuma 5rb dan ditambah biaya parkir 5rb. Total, kami mengeluarkan biaya 10rb per motor.

Setelah selesai memarkirkan motor, kami masih harus menaiki jalanan yang agak tinggi. Jalanan yang tersusun seperti anak tangga. Lebih kurang sekitar 300 meteran, kalau gue nggak salah. Soalnya gue nggak ngitung. Yang jelas, jika kalian telah menaiki jalanan tersebut, gue jamin nyampek di pantai kalian ngos-ngosan. Percaya sama gue! Tapi rasa ngos-ngosan itu akan terbayarkan oleh pemandangan dari Pantai Sendiki. 






Kalau boleh jujur, Pantai Sendiki itu bagus. Yang jelek itu Attitude mantan kamu, dek. Gue hanya bisa bengong ngeliat Pantai Sendiki. Karena cuaca yang begitu panas, gue memilih neduh sebentar sebelum mencari spot buat foto-foto. 

Nggak seperti pantai-pantai di Malang yang lainnya, yang memiliki banyak karang, di Pantai Sendiki gue hanya melihat satu karang yang cukup jauh dari bibir pantai. Tentu, ini modal positif bagi gue yang nggak jago-jago amat motret Pantai. Maklum, terakhir kali motret pantai yang ada karangnya, gue dibilang tukang foto abal-abal. Lah emang gue bukan tukang foto Ya, Allah...

Nggak cuma pemandangannya aja yang cakep. Di Pantai Sendiki juga ada semacam bangunan yang lebih mirip rumah-rumah singgah, gitu. Tapi gue nggak tau, bisa dibuat nginep apa enggak. Soalnya pas gue foto, pintunya ketutup. 



Buat yang doyan ngopi-ngopi sore sambil ngelihat air laut menghantam bibir pantai, Pantai Sendiki juga menyediakan tempat buat nongkrong. Sayangnya, pas gue kemarin ke sana tempatnya nggak digunakan dengan semestinya. Yang seharusnya di meja hanya diisi oleh makanan ataupun minuman, tapi pengunjung malah menjadikannya sebagai tempat menaruh tas. Sungguh perbuatan yang dzolim. 



Sebagai penutup, gue merasa lelah gue terbayarkan dengan suguhan pemandangan yang cukup ngebuat gue berdecak kagum. Jangan pernah takut untuk datang ke Pantai Sendiki karena jalanan yang sungguh menggoyahkan iman. Percayalah, semua itu akan terbayarkan setelah kaki kalian menginjak pasir pantai. Percayalah!

Saran gue, biar nggak terlalu melelahkan, lebih baik kalian bangun tenda di sana dan bermalam di bibir pantai. Kalau saja saat itu gue tau bakal sedemikian lelahnya, gue lebih memilih menginap di sana. Sayangnya nggak ada satupun dari kami yang membawa tenda. Bisa sih menginap, tapi beralaskan dedaunan. Terpaksa, niatan menginap pun kami urungkan.

Buat yang takut motornya terlihat seperti abis ikut partisipasi Film Mad Max: Fury Road, jangan takut! Warga sekitar juga menyediakan kamar mandi yang di dalamnya bisa kalian buat mandi ataupun membersihkan motor kalian menggunakan selang. Warga pun nggak mematok berapa biaya yang harus dibayar. Tapi, ya, kalian harus sadar dirilah. Masak 5 motor yang dibersihkan cuma bayar 10rb. Bisa-bisa ban motor kalian didoakan meletus setelah berjalan 10 meter.


Gue? cari aja yang paling ganteng.
Sekian dulu ceritanya. Ingat! Sebelum berpergian, selalu ingat pesan mama. Jangan lupa berdoa!



NB: Buat kalian yang ingin bertanya, boleh loh lewat kolom komentar. Ciaooo...

Continue reading Pantai Sendiki dan Ceritaku

Kamis, 27 Oktober 2016

Bercanda Fisik?




Ada sebuah quote yang mengatakan bahwa, 'pada saatnya nanti, semua akan berubah pada waktunya'. Entah karena suatu hal, atau apa pun itu. Contoh sederhananya ketika aku menyukai pelajaran sekolah. Sewaktu TK,  aku menyukai berhitung. Memasuki SD, aku menyukai pelajaran IPS. Dan ketika SMP-SMA, aku menyukai pelajaran sejarah. Dari pengalaman tersebut, aku mengamini kalau memang benar, semua akan berubah pada waktunya.

Beberapa hari yang lalu aku menghadiri acara pernikahan seorang teman. Di sana, aku bertemu dengan teman-teman masa kecil sewaktu madrasah. Tak banyak yang berubah dari mereka. Tetap cengengesan tak karuan. Seperti orang yang tak bertemu selama ribuan purnama, sebagian dari mereka membuka pembicaraan dengan candaan fisik; 'Kamu makin gendut, ih. Narkoba, ya?' Aku tersenyum kecil. 'Enggak, cuma jadi simpenan, janda, kok,' jawabku. Mereka pun tertawa dengan mantap. Dari candaan itu, aku sadar, ternyata teman-temanku masih sama seperti dulu. Tidak berubah, dan masih suka bercanda fisik.

Jujur, aku bukanlah orang yang suka bercanda dengan fisik. Karena aku tahu, itu tak pantas. Aku ingat, ketika di pesantren pernah memanggil temanku Babi ngepet. Karena menurutku, hidungnya mirip sekali dengan Babi. Setiap harinya, dia dipanggil Babi ngepet sama sebagian temanku. Sampai suatu hari, aku dipanggil setan karena kulitku yang coklat menjurus kehitaman. Aku merasa sakit hati, kesal, dan ingin mengajak berantem mereka yang memanggilku setan. Karena sakit hati, aku berhenti memanggil temanku dengan sebutan Babi ngepet. Meskipun sebagian temanku masih ada yang manggil dengan sebutan itu karena dipikirnya itu masih relevan dan masih lucu. Aku tahu, apa yang aku rasakan ketika dipanggil setan juga dirasakan oleh temanku yang dipanggil Babi ngepet. Ya, sakit hati.

Pertanyaannya, apakah pantas ditertawakan jika membuat orang lain sakit hati meskipun itu lucu? Aku rasa tidak.  
Continue reading Bercanda Fisik?

Minggu, 18 September 2016

Semangat Agustus


'Anak zaman sekarang, sok ngerti! Merasa paling oke. Padahal ya ngga ada isinya' celoteh temen gue setelah dinyinyirin sama tetangga.

Semenjak lulus dari pesantren, atau lebih kurang lima tahun yang lalu, gue mulai aktif ikut organisasi yang ada di kampung gue. Sebut saja; Karang Taruna. Yap, gue ikut bergabung dengan organisasi tersebut. Organisasi yang menurut gue ada di tiap-tiap kota di seluruh Indonesia. Btw, di daerah kalian ada Karang Taruna ngga?

Selang beberapa tahun ikut organisasi tersebut, gue mulai banyak makan asam-manis berbagai pengalaman. Mulai dari bagaimana Karang Taruna bisa memiliki kas pribadi, hingga membuat suatu acara tanpa meminta sumbangan dari warga. Agustus kali ini, karang taruna kampung gue mengadakan acara perlombaan seperti tahun-tahun sebelumnya. Kalau boleh jujur, gue adalah orang yang paling bersemangat untuk merayakan hal semacam ini. Bukan tanpa alasan, karena menurut gue perayaan kemerdekaan seperti ini udah jarang ada di daerah lain. Seperti salah seorang teman yang pernah berkomentar di blog gue tahun lalu. Dia bilang, 'terakhir ikut lomba Agustusan waktu kelas 6 SD. Sekarang udah nggak pernah ikut. Soalnya nggak ada di kampungku'. Komentarnya bisa kalian baca di sini

Karena sudah semakin jarangnya orang-orang yang merayakan kemerdekaan di bulan Agustus, kadang gue sedih. Tapi, ya mau gimana lagi, wong kadang ada sebagian kelompok yang bilang ngerayain kemerdekaan itu Bid'ah. Malah yang lebih ekstrim, ada yang ingin merubah pancasila dengan khilafah. Lah, piye toh, kalau ingin merubah pancasila menjadi khilafah, berarti Anda semua nggak menghargai para pahlawan yang berjuang memerdekakan Indonesia. Udah nggak mau memperingati kemerdekaan, malah ingin merubah Pancasila. Dasar, lendir Anoa! Huh.

Kalau boleh jujur, kadang kesel juga sama tipe manusia seperti itu. Beruntung, gue bukan dari golongan mereka. Nggak kebayang aja kalau gue join sama mereka lalu berteriak dengan lantang; 'MERAYAKAN KEMERDEKAAN ITU BID'AH. JALAN SEHAT APALAGI!'. Lalu besoknya gue dibakar orang se-kampung. Dan, mati. Tapi, untungnya dari hati gue paling dalam lebih memilih untuk merayakan kemerdekaan daripada enggak. Karena menurut gue sederhana, lebih mudah merayakan kemerdekaan daripada memerdekakan Indonesia dari para penjajah. Sesederhana itu. Kalaupun kalian nggak mau merayakan, minimal tegakkan tiang beserta bendera Indonesia di depan rumah kalian, sekadar untuk menghargai jasa-jasa para pahlawan. Udah itu aja. Nggak lebih.

Balik lagi ke Karang Taruna, tahun ini gue ditugaskan menjadi bendahara PHBN. Setelah tahun lalu sukses menjadi wakil, gue turun pangkat. Sebab, seperti kata Alm Gus Dur, 'tidak ada jabatan yang perlu dipertahankan mati-matian'. Menjadi bendahara gue kira lebih mudah dibanding wakil, tapi ternyata tidak. Malah lebih rumit. Yang nyatet dana masuk lah. Yang nyatet dana keluar lah. Rumit pokoknya. Nggak semudah menjadi wakil, yang tinggal ongkang-angking kaki. Tinggal nyuruh. Hehehe. Jahat, ya, gue?




Sebagai pembuka, Karang Taruna mengadakan lomba untuk adek-adek ketemu gede. Lomba Makan Kerupuk. Alias lomba sejuta umat. Gue yakin 98% kalau lomba Agustusan pasti ada lomba makan kerupuk. Ibarat sebuah hubungan, lomba Agustusan dengan makan kerupuk itu sudah nggak bisa dipisahkan, sekalipun beda ormas.

     
Selanjutnya, ada lomba Sepak Terong. Lomba yang membutuhkan skill mengayunkan pantat. Entah siapa penemu lomba semacam ini. Kalau kalian nggak mempunyai skill mengayunkan pantat, gue sarankan jangan coba-coba, deh. Serius! Daripada entar encok, malah bikin repot.



Setelah dua lomba yang cenderung cegengesan tadi, nggak lupa Karang Taruna juga mengadakan lomba yang mendidik. Lomba Adzan bagi yang cowok. Dan bagi yang cewek, lomba mengaji. Biarpun lombanya menjurus ke serius, ada saja anak yang bikin ketawa. Lombanya memang adzan, tapi ada anak yang bukannya adzan malah iqomah. Yaudahlah, ya, namanya juga anak kecil. Bisa ikut partisipasi lomba aja, gue udah seneng.


Sebagai penutup Agustus, tak lupa kami mengadakan jalan sehat. Meskipun kali ini diadakan pada malam hari, tak mengurangi antusiasme warga untuk menghadiri acara yang berbasis keberuntungan tersebut. 




Sebagai penghibur, kami juga mengundang beberapa penyanyi dangdut untuk menghilangkan kebosanan karena menanti nomer undian. Apapun akan kami lakukan untuk memeriahkan kemerdekaan republik Indonesia. Ya, apapun. 

Mungkin cukup segitu cerita Agustus gue. Kalau cerita Agustus kalian gimana? Ceritakan di kolom komentar, ya! Ciaooo... 

   




Continue reading Semangat Agustus

Jumat, 29 Juli 2016

Cerita Bulan Puasa 2016



Bagaimana cerita bulan puasamu tahun ini?

Ceritaku sederhana. Aku menghabiskan separuh pagi menjelang siang dengan menjaga toko di pasar. Sebetulnya, ini adalah kegiatan rutinku setiap hari minggu. Berhubung lagi bulan ramadan, aku ingin fokus membantu orangtuaku menjaga toko. Karena aku sadar, kalau bulan ramadan di toko selalu ramai. Selain belajar berjualan, aku suka memperhatikan orang-orang yang datang ke pasar. Ada yang berpasangan. Ada yang berkeluarga. Dan ada juga yang sendirian seperti laskar Biji Kuda. 

Selain berjualan, kalau malam aku menjadi bilal taraweh di musholah kampung. Bukan bermaksud pamer, tapi lebih ke biar kalian tahu aja kegiatanku meskipun aku tahu, kalian tak peduli. Sejujurnya, aku tidak pernah ingin menjadi bilal taraweh. Tapi, berhubung di kampung yang hafal lafad serta urutannya bisa dihitung dengan jari, jadilah aku yang mengemban tugas mulia itu. Biasanya, setelah tarawih aku tadarus. Selesai tadarus aku bermain petasan. Ya, begitulah kegiatan penjahat kalau malam. 

Puasa tahun ini, aku tidak jatuh cinta lagi seperti bulan puasa tahun 2014. Ceritanya bisa kalian baca di sini. Yap, aku tidak jatuh cinta lagi. Selain karena tidak ada yang aku taksir, aku juga belum kepikiran untuk jatuh cinta lagi. Bukan karena takut, tapi emang tak ingin. Sungguh! 

Btw, awal puasa aku excited banget untuk mempersiapkan segala sesuatu untuk sahur dan berbuka. Tapi, entah kenapa menjelang lebaran, aku seperti mati gaya. Sahur pun kadang cuma minum air tiga gelas. Berbuka apalagi. Cukup mie rebus sama minum air putih. Apa cuma aku, ya, yang merasakan seperti itu? Pun, ketika menjelang akhir ramadan, aku suka merasa menyesal setelah melihat awal-awal puasa yang tak memperbanyak ibadah secara maksimal. Rasa seperti itu sering aku rasakan ketika menjelang akhir ramadan. Entahlah, padahal aku selalu memiliki kesempatan untuk memperbaiki di tahun berikutnya, kalau masih ada umur. Tapi, kalian tahulah ntar ujung-ujungnya gimana. Ya, pasti tak maksimal lagi, dan di akhir ramadan aku menyesali lagi. Template tiap tahun sepertinya. Jujur, aku ingin lebih baik. Tapi, berat. Tapi, aku harus coba! ya, 'If you never try, you'll never know'. #Pret    

 Udah, ah, gitu aja ceritaku. Kalau cerita puasamu bagaimana? yuk ceritakan di kolom komentar! 
Continue reading Cerita Bulan Puasa 2016

Selasa, 31 Mei 2016

Jupiter Z Nasibmu Kini




 'Adakah yang lebih menyedihkan dari kehilangan?'

Rabu, 11 Mei 2016. Mungkin tak akan pernah saya lupakan sepanjang saya masih hidup. Dentuman keras dari sebuah truk yang menabrak memekakan mata saya yang tengah fokus menonton MU bertanding. Jarak yang cukup dekat membuat saya loncat dari tempat duduk. Jika tak loncat, mungkin warga kampung sudah bertahlil di rumah saya.

Truk itu berhenti. Saya berlari ke luar memastikan tak ada korban. Baru beberapa langkah, tatapan saya kosong melihat parkiran, motor saya tidak ada. Saya berpikir kalau motor saya pasti terlindas truk tersebut. Dan benar saja, ternyata motor saya berada di samping roda depan truk itu dalam kondisi yang cukup membuat hati terenyuh ketika melihatnya. Tubuh terasa lemas. Seakan tak percaya bahwa motor yang telah menemani saya selama 8 tahun kini tergeletak tak berdaya.

Bagaimana perasaanmu ketika melihat sesuatu yang telah bersamamu selama 8 tahun, besoknya sudah tak akan bersamamu lagi?

Sakit? Iya, itulah yang saya rasakan. Kisah yang akan kita buat berdua sehari-hari akan terhenti. Sementara kisah yang berlalu, akan menjadi kenangan. Terakhir seminggu sebelumnya, saya ajak ke salah satu pantai yang berada di Malang. Tak ada firasat kalau liburan itu adalah liburan terakhir yang kita lalui berdua.

Saya duduk termenung di salah satu kursi warkop. Sementara sang sopir bercerita dengan gaya motivator di hadapan banyak orang kalau ia sebenarnya melihat sesosok ibu beserta anaknya yang akan menyeberang. Ia kemudian banting setir, lalu menabrak motor saya sebelum dihentikan oleh sebuah pohon. Saya senyum kecut, tak percaya. Saya tahu sendiri kalau truk dalam keadaan yang cukup kencang. Kalaupun ada seorang ibu dan anak akan menyeberang, kenapa truknya tak mengurangi kecepatan? Bapak berbohong, batin saya.

Terlepas dari sopir yang beralasan, ketermenungan itu membawa saya mengingat bagaimana perjuangan bapak saya membeli motor tersebut. Saya ingin menangis, tapi takut dikira cowok lemah.

Awal Ramadan tahun 2008, bapak berkata kepada saya kalau ingin membeli motor biar nggak meminjam lagi ke saudara kalau ingin menjenguk saya di pesantren. Karena tepat dua minggu sebelumnya, motor bapak dijual untuk dijadikan modal membeli satu toko di pasar. Saya antusias mendengar percakapan bapak.

'Mas, bapak mau beli motor' 

'Mau beli motor apa, pak?' tanya saya.

'Nggak ngerti, mas. Bingung, sik an. Enak e motor apa?'

Bagai gayung yang bersambut, saya jawab dengan mantap, 'Jupiter Z, aja, pak'.

'Nggak Honda ae tah?'

'Nggak pak, Jupiter Z aja' tolak saya, kalem. Pemilihan motor tersebut bukan tanpa alasan, karena pada saat itu Jupiter Z lagi ngetren-ngetrennya.

Beberapa hari setelah lebaran, bapak mengajak saya ke salah satu showroom yang dekat dari rumah. Bilangnya, bapak ingin memantau harga. Kalau cocok langsung beli. Kalau tak cocok, ya lihat-lihat saja dulu, katanya.

Sesampainya di showroom, mata saya berkaca-kaca. Bagaimana tidak, banyak motor Jupiter Z yang dijual berjejer. Sementara bapak saya, sibuk mengobrol dengan seorang lelaki yang memakai baju khas pegawai showroom. Panjang lebar ngobrol ngalor-ngidul, si mas showroom ini mengajak kami berdua ke salah satu motor Jupiter Z. 

'Ini motornya baru masuk pak. Lihat saja kilometernya baru 5 KM. Jarang dipakai kelihatannya' Mas showroom menjelaskan. 

'Oh iya iya' bapak saya mengangguk paham. 'Emang harganya itu berapa mas?' Bapak saya melanjutkan. 

'Emmm' masnya mendengung. 'Kalau yang ini masih agak mahal pak. Soalnya barangnya masih mulus. Baru datang juga minggu kemarin, kalau nggak salah'

'Iya, berapa mas?' bapak saya penasaran.

'Sebelas juta tujuh ratus, pak'

'Masih boleng kurang, kan, mas?' sahut saya.

'Boleh, tapi dikit, mas'

'Sebelas juta lima ratus, deh' tawar bapak saya.

'Yaudah, mari ngobrol di meja saja, pak. Biar enak'

Di antara beberapa sore yang pernah saya lewati, mungkin sore itu adalah yang paling bahagia bagi saya. Pulang dari showroom, membawa motor Jupiter Z lengkap dengan bonus jaket yang bertuliskan nama showroom tersebut. Bahagianya terasa seperti membayangkan genggam tangan pacar untuk pertama kalinya. Iya, membayangkan. Dan yang paling membuat saya senang, bapak membelinya dengan cash, bukan kredit. Eh, emang bisa, yah, kredit di showroom?

Ingatan terus berdatangan. Sementara saya, bingung. Pikir saya, ini motor pasti sudah tak bisa digunakan. Melihat kondisinya seperti itu, mustahil dapat digunakan seperti sedia kala. Kalaupun bisa, mungkin ada sebagian yang goyah. Sudah tak srek lagi. Ibarat orang pacaran dari hasil balikan sama mantan, pasti cintanya sudah tak seperti awal pertemuan.

Bapak supir truk menghampiri saya dan bilang, 'ngapunten nggeh, mas. Kulo niate wau ngindari ibuk kale anak e'.

'Oh nggeh pak. Yok nopo male, jenenge musibah' kata saya menenangkan.

'Terus motore niki dos pundi?'

'Ngge diganti pak. Nek diservis ngge mustahil saget enak koyo awale'

'Oh ngge, ngge'

Hati saya sedikit bunga. Sang sopir sudah mengetahui apa yang saya inginkan. Setidaknya, musibah ini bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Kalaupun sang sopir tak menuruti, saya ancam laporkan polisi. Karena dengan alasan apapun, sang sopir pasti salah. Dan saya, yakin menang banyak. Tapi sayangnya, saya tak setega itu.   

         


Continue reading Jupiter Z Nasibmu Kini

Kamis, 07 April 2016

Selamat Menikah Pak Ketua Karang Taruna




Deni, menikah. Dia adalah salah seorang teman sekaligus ketua Karang Taruna di kampung saya. Ada rasa bahagia sekaligus sedih. Bahagia karena dia telah mengikat janji suci bersama orang yang dia sayang. Sedih, karena jelas waktu bermain bersama dia akan sedikit mulai berkurang. Bukankah kehidupan memang begitu? Sewaktu kecil, kita bisa berjam-jam hanya untuk sekadar bermain. Tapi, jam-jam itu akan berkurang dengan sendirinya ketika kita beranjak dewasa. Bahkan, sehari untuk bisa bermain lagi, rasanya sudah tidak mungkin.

Deni adalah orang paling royal dalam urusan sumbang-menyumbang di kampung saya. Nggak pelit dan nggak ribet. Misal ada suatu acara, dia yang akan mengkomando untuk menyumbang terlebih dulu. Jumlahnya kadang tak tanggung-tanggung. Tiap Agustusan, merayakan tahun baru, ataupun masakan di malam minggu, dia nggak pelit. Karena alesan itulah, saat pernikahannya, seluruh anggota karang taruna saya suruh ikut bantu-bantu. Saya nggak mau dicap sebagai anggota karang taruna yang tak tahu diri. Nggak mau!

Sebagai kakak kelas saya waktu madrasah, malam itu terlihat banyak sekali teman-teman Deni waktu madrasah yang datang. Salut sama mereka. Kenapa? Sepengalaman saya, teman-teman madrasah itu biasanya jarang ada yang datang. Kalaupun ada, paling bisa dihitung dengan jari. Ya, mungkin gara-gara sudah lama nggak ketemu. Jadi kalau datang itu nggak enak kalau nggak datang bareng-bareng. Saya, sih, mikirnya begitu. Dan biasanya yang paling banyak datang adalah mereka yang berasal dari teman sepekerjaan. Percaya, deh, ntar kalau kalian akan menikah, undang mereka yang sepekerjaan sama kalian. Pasti mereka datang, kalaupun nggak datang, biasanya mereka akan menanyakan nomer rekening kalian. Saya, sih, nggak bohong.

Ngomongin pernikahan, saya jadi ingat perkataan dari teman saya yang mengatakan: 'menikahlah kalau sudah siap'. Saya sependapat dengan teman saya. Kalau kalian tidak sependapat, saya nggak peduli. Sejujurnya, saya tidak tahu batas minimal laki-laki itu boleh menikah di umur yang ke berapa. Pun juga kalau perempuan, saya juga tidak tahu. Tapi, saya cuma menyimpulkan secara sederhana begini. Mari menikah ketika kita sudah siap. Artinya adalah siap dalam hal keuangan, mental, dll. Intinya kita siap aja dulu. Kalau di usia 23 sudah siap secara keuangan, mental dan segala tetek bengeknya, ya silakan, lanjut ke KUA. Asal jangan segalanya udah siap, tapi calonnya nggak ada, ini yang ribet.

Apa yang saya katakan di atas ngga harus kalian percaya atau kalian ikuti. Percaya aja sama Tuhan. Kalau percaya saya, ntar takutnya musyrik. Toh, setiap orang memiliki pendapat masing-masing. Dan di atas adalah sebatas pendapat saya. Perhitungan saya, kalau dah siap secara keuangan, kan, enak. Bikin acara pernikahan pake duit sendiri, nggak ngerepotin orang tua lagi. Tapi, apapun alasan kalian, jangan lupa menikah. Sebab, sebaik-baiknya hidup adalah mereka yang berpasang-pasangan. 

Terakhir, selamat menempuh hidup baru, Pak Ketua Karang Taruna.   






         
Continue reading Selamat Menikah Pak Ketua Karang Taruna

Rabu, 30 Maret 2016

Review #INDONESUCKS3 Sidoarjo



Saya sejujurnya berekspektasi tinggi saat mendatangi acara stand up anak-anak Sidoarjo yang notabene sudah beberapa tahun berdiri. Dengan segala pengalaman yang mereka miliki, saya berharap mendapatkan komedi segar a la-a la anak Sidoarjo yang bertemakan keresahannya terhadap Indonesia. Tetapi, secara tulus saya katakan, malam kemarin saya tidak mendapatkan ekspektasi itu. Entah ekspektasi saya yang terlalu tinggi atau memang panitia salah memilih komika yang tampil. Entahlah, saya tak mau tahu permasalahan itu.

Malam sehabis maghrib, saya mendatangi lokasi acara tersebut. Kata panitia, acaranya dimulai pukul 18.30. Sesampainya di sana, saya berpikir kalau saya datang terlambat. Ternyata, tidak. Acaranya belum dimulai. Saya hanya menunggu dengan duduk di kursi yang sudah disediakan. Pada detik itu, saya sedikit kecewa dengan panitia. Mereka terkesan mengulur-ngulur waktu seenaknya tanpa memikirkan penonton yang sudah datang. Padahal seharusnya, mereka menghargai orang yang datang tepat waktu. Dan memulai acara tepat waktu. Bukan malah memulai acara di waktu yang tepat.

Berbicara penampilan, komik yang pertama seperti tidak siap untuk tampil. Seperti lelaki yang menertawakan dirinya sendiri, tapi bagi orang lain (termasuk saya) mungkin tidak lucu. Ketika menulis review ini, saya lupa dia membawakan materi apa. Yang saya ingat hanyalah, ketika sebelum tampil dia duduk tepat di belakang saya. Sama halnya dengan mas-mas yang tampil memakai topi. Saya tak tahu namanya. Ia terlihat seperti orang yang meluapkan emosi. Bukan malah stand up comedy yang terlihat, tapi malah terlihat seperti orang orasi yang sesekali mengeluarkan umpatan-umpatan agak jorok. Kesannya mungkin terlihat lucu, padahal tidak.

Ada dua komik yang menurut saya malam itu cukup pecah di antara komika yang lainnya. Jujur, bukan bermaksud komik yang lain tidak pecah. Tapi secara pribadi, saya menyukai penampilan kedua orang itu. Yang pertama, Sega. Dan yang kedua, Danny. Sega yang berbicara masa SMPnya doyan sama Last Child membuat saya tertarik untuk menaruh Handphone dan fokus untuk mendengarkan. Ia menceritakan keresahannnya bagaimana anak-anak zaman sekarang mudah terinspirasi melakukan hal yang nggak masuk akal. Cara penyampaiannya yang konyol membuat saya ngebatin: 'edan! Kok kepikiran, yah, bikin materi seperti itu?'. Jika diibaratkan komik yang sudah terkenal, ia bagaikan Dodit tanpa biola. Ia diam saja, penonton sudah ketawa.

Yang kedua, Danny. Bisa saya katakan observasinya tajam. Itulah alasan kenapa saya tertarik untuk mendengarkan. Ia mengamati hal-hal kecil seperti sopir angkot yang menawarkan angkutan kepada setiap pejalan kaki di Malang. Ia berhasil membawa saya berpikir dan membayangkan apa yang ia katakan itu benar dan masuk akal. Danny membawakan materinya dengan bahasa yang enak didengar tanpa mengeluarkan umpatan-umpatan yang cenderung kasar. Saya suka itu.

Sedangkan untuk materi, saya suka ketika beberapa komik ada yang membahas tentang ormas-ormas yang suka mengkafirkan orang lain yang nggak se-aliran dengan mereka. Kalau boleh jujur, ini merupakan keresahan sesungguhnya masyarakat Indonesia. Karena inilah yang terjadi saat ini di negeri kita. Secara tidak langsung, materi ini membuat saya tersenyum geli melihat apa yang sedang terjadi di Indonesia. Kalian keren.

Memasuki penampilan terakhir, yang mungkin ditunggu-tunggu para penonton adalah mas Yudhit. Salah seorang komik yang sudah kenyang pengalaman, asem dan manis dunia stand up. Jujur, malam itu penampilannya tidak buruk, tapi juga tidak begitu lucu. Ia terlihat seperti orang yang memberikan seminar motivasi dengan sedikit celetukan-celetukan komedi yang membuat penonton sedikit tertawa sederhana: 'haha'. Entah, entah itu tertawa karena materinya lucu atau tertawa karena nggak enak sama mas Yudhit, saya tidak tahu. 

Sebagai penutup, saya teringat quote dari mas Yudhit yang mengatakan: 'Meskipun nggak terkenal-kenal amat, yang penting tiap tahun bikin album'. Saya mengamini itu. Saya menghargai usaha kalian mengadakan acara stand up seperti malam kemarin. Ke depannya, saya berharap akan ada acara lagi dengan kualitas yang lebih baik. Karena bagaimanapun, kota tercinta (Sidoarjo) kita ini butuh hiburan.

Viva La Komtung!    

         
















  

      

    
Continue reading Review #INDONESUCKS3 Sidoarjo

Jumat, 05 Februari 2016

Siapa Malingnya?




Hari ini, teman saya kehilangan uang lagi. Tidak banyak memang, tapi cukup untuk mentraktir pacar beli Nasi Goreng plus teh manis, setahun.

Tradisi kehilangan uang seperti ini sebenarnya sudah mendarah daging di kalangan pesantren. Yaaaa agak mirip sama korupsi di dalam negeri. Hampir seluruh santri yang ada di pesantren saya, pernah merasakan kehilangan uang. Rasanya seperti tak afdol jika belum kehilangan uang di pesantren.

Pada banyak kasus, uang yang hilang rata-rata berada dalam almari. Padahal, setiap santri selalu mengunci almarinya setiap waktu. Gitu masih bisa dicuri dengan menjebol gemboknya. Kan, ini sudah di luar logika. Seorang santri, nekat menjebol almari demi segelintir uang. Jangankan dalam alquran, orang waras (kecuali koruptor, maling, etc) pun akan berkata bahwa mencuri itu dilarang. Tidak baik. Tapi, kalian harus tahu, tidak semua santri seperti itu. Contohnya? Ya, jelas toh, saya. Masa Pak SBY? Percayalah! Itu hanyalah sebagian kecil. Ibarat satu karung buah apel, pasti akan ada satu apel busuk di dalam karung tersebut. Nah, yang apel busuk itulah santri yang suka nyolong duit temen sendiri. Biasanya, santri seperti ini nantinya akan memiliki spot khsusus di neraka jahannam. Serius!

Temen saya yang kehilangan uang, lantas tak tinggal diam. Ia melapor ke pengurus dengan harapan akan ditindak lanjuti kasus kehilangan tersebut. Bukan apa-apa, kalau kehilangan sekali, sih, gapapa. Kalau keterusan, ya enak malingnya. Ya toh? Ya meskipun dengan melapor ke pengurus nggak bakal mengembalikan uang yang hilang juga, sih. Tapi, setidaknya laporan itu bisa membuat sebuah warning buat pengurus pesantren, kalau di dalam pesantren itu ada malingnya.

Biasanya, yang merasa kehilangan uang kadang ga cukup melapor ke pengurus saja. Ada juga yang lapor ke paranormal. Tujuannya? Ya biar bisa diterawang siapa yang mencuri uangnya. Tapi, saya tak yakin kalau paranormal itu bisa membantu. Ya, setidaknya udah usaha, toh. Seperti kata pepatah, 'kalian tak akan pernah tahu, kalau kalian tak pernah mencobanya'.

Temen saya yang kehilangan uang, namanya Beni. Sepertinya, dia adalah lelaki yang kurang beruntung bulan ini. Hari ini, dia pulang ke rumah. Konon katanya, dia mau ke paranormal. Sepulang diniyah dia bilang ke saya, 'eng, entar aku pulang bentar?' katanya.

'Udah izin pulang?' tanya saya.

'Gausah lah, wong bentar aja, kok. Cuma ke orang pintar aja, abis itu balik'

'Oh, yaudah, hati-hati'

Beni pun pergi. Menjauh dari pesantren, bersama Afir. Teman kita, anak luar pesantren.

Dari raut muka Beni, terlihat sekali bawaan wajahnya ngajak berantem. Wajah ditekuk, kesal. Iya, kesal dengan maling, mungkin. Saya pun memahami kekesalan Beni. Bagaimana mungkin, dalam satu bulan bisa kemalingan tiga kali dalam jumlah uang yang cukup banyak. Siapa yang tak kesal? Siapa yang tak marah? Siapa pacar Julia Perez?

Sore hari sepulang sekolah formal, Beni balik ke pondok. Terlihat, di tangannya membawa sebotol air putih berukuran besar. Saya tak curiga dengan botol itu. Mungkin air putih biasa, pikir saya. Lah wong botolnya pun masih jelas ada labelnya, A-K-U-A. Tiba-tiba adzan maghrib pun membuyarkan lamunan saya.

Malam setelah takror, seluruh anak kamar disuruh berkumpul di kamar. Saya tak tahu ada apa gerangan. Di lantai tiga pesantren, kami berkumpul menjadi satu. Kamar yang tak selebar daun kelor membuat kami berdesakan. Beni membuka pembicaraan.

'Sebelumnya, aku minta maaf ke kalian semua. Akhir-akhir ini, duitku sering hilang. Bukan maksud menuduh di antara kalian ada yang mencuri, tapi aku cuma berusaha dengan mendatangi orang pintar. Dan dari orang pintar itu, aku dikasih air putih ini' Beni mengeluarkan air botol yang saya curigai sore tadi.

'Nah, sebelum aku meminta kalian untuk meminum satu persatu, aku cuma mau ngomong, kalau kalian ada yang ngambil duit aku, bilang saja, nggak usah malu. Aku, nggak, marah' lanjut Beni.

Beni menuangkan air botol ke gelas kecil bergantian. Satu persatu dari kami meminum bergiliran. Saya belum tahu maksudnya buat apa. Tapi, mitos dari anak-anak, katanya kalau yang minum si pencuri uang Beni, dia akan teler dengan sendirinya. Saya nggak tahu sistem kerjanya seperti apa. Tapi, yang saya tahu pasti adalah bahwa bangsa kita adalah bangsa yang paling suka percaya dengan mitos-mitos belaka. Ya toh?

Manbaul Hikam, 9 desember 2011~
Continue reading Siapa Malingnya?