Selasa, 15 Desember 2015

Ah Nenek



Hari ini, tepat 100 hari saya ditinggalkan nenek. Orang yang di mana saya menghabiskan hari bersamanya. Kesedihan, kebahagiaan, pernah saya rasakan bersama nenek. Ia adalah orang yang sabar. Kalau kalian tak percaya, saya tak peduli.

Tepat tanggal 30 Agustus 2015 kemarin, nenek menghembuskan nafas terakhirnya. Saat itu, saya tak tahu. Saya sedang di rumah menonton televisi. Ada keponakan yang datang ke rumah, katanya, nenek nggak sadar. Sontak membuat saya terkejut. Bagaimana tidak, malam sebelumnya saya dan ibu masih ngobrol bersama nenek. Saya pun bergegas menuju rumah nenek yang nggak jauh dari rumah saya. Sesampainya di sana, sudah banyak saudara-saudara yang berdoa nan cemas sembari menanti kepastian apakah nenek meninggal atau tidak. 

Saya pun terdiam di bawah tangga. Tak sadar, dikit demi sedikit air mata saya membasahi muka. Goresan kenangan yang pernah saya lalui bersama nenek pun mendadak terlintas di pikiran. Teringat betapa lucunya nenek yang sok makan pedas ketika berbuka puasa, padahal ia tak pernah suka makan pedas. Saya pun tersenyum. Nenek sangat lucu bagi saya. Ia juga pernah menyiram saya dari lantai dua gara-gara saya membuat rame di siang bolong. Ya, nenek memang tak suka keramaian di siang hari. Menurutnya, itu mengganggu waktu tidur siang. Sewaktu madrasah, nenek selalu mengingatkan saya untuk selalu menjaga sholat lima waktu, tapi saya tak pernah mendengarkan. Alhasil, peringatan itu pun masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Sholat saya sering bolong. 

Sejak saya dilahirkan ke dunia, nenek sudah tidak bisa melihat. Nenek tak pernah tahu wajah saya. Meskipun ia tak tahu, tapi kasih sayang nenek tak pernah berkurang kepada saya. Ah, bukankah kasih sayang sesungguhnya memang begitu? Kondisi nenek yang sudah tua, membuat penglihatannya rabun. Hal ini sangat berpengaruh terhadap kegiatannya sehari-hari. Di usianya yang senja, nenek banyak menghabiskan waktunya di rumah. Yang bisa dilakukan hanyalah mendengarkan radio, beribadah, tidur, dan bercerita. Bagi saya, nenek adalah pencerita yang baik. Saya selalu menanyakan kegiatannya sewaktu masih muda saat masih tinggal di Madura. Tentu, nenek pun bercerita dengan antusias. 

Saya pernah iseng nanya, 'nek, dulu pas zaman penjajahan, nenek sembunyinya di mana?'

'E gunung' jawabnya dengan bahasa Madura, singkat. Artinya, di gunung.

'Terus kalau mau makan gimana?'

'ye ngakan, cong. Ngebeh alat masak deri romah. Terus e gunung, masak' Artinya, ya makan, mas. Bawa alat dari rumah. Terus di gunung baru masak.

'Oh' kata saya, bengong. Setelah itu, saya lupa apa percakapan selanjutnya.

Nenek saya berasal dari Madura. Tapi, pertengahan tahun 1980an pindah ke Sidoarjo. Alasannya, anak nenek yang pertama sudah bekerja dan bisa dibilang sudah sukses pada zamannya. Oleh sebab itu, nenek serta anak-anaknya diajak berpindah ke Sidoarjo. Nenek pun tak menolak ajakan tersebut. Tetapi, nenek hanya berpesan, kalau nanti meninggal, ia ingin dimakamkan di Madura. 

Saya masih terus mengingat, mengingat hal-hal kecil yang pernah saya lakukan bersama nenek, sampai tak sadar ada sebuah tepukan ke pundak saya, dan berkata, 'nenek meninggal'.

Saya mendadak lemas, tak percaya bahwa nenek meninggal. Dunia mendadak terasa begitu gelap. Awan kelabu seakan menyelimuti rumah nenek saat itu. Saya berduka, ibu pun demikian. Tak ada yang lebih baik untuk nenek, selain berdoa dan merelakan. 

Selamat jalan, nenek.



Continue reading Ah Nenek

Jumat, 04 Desember 2015

Hidup itu Berkembang

Sewaktu kecil, bapak saya pernah berkata bahwa: hidup itu terus berkembang dan semakin maju. Apa yang tidak ada di masa lalu, kemungkinan akan ada di masa yang akan datang. Apa yang meribetkan, akan tergantikan oleh yang lebih praktis. Dulu saya tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh bapak. Bukan, bukan karena durhaka, tapi lebih karena saya belum menemukan bukti bahwa apa yang dikatakan bapak itu benar. Contohnya: nasi padang. Dari zaman batu sampai zaman sekarang, nasi padang juga gitu-gitu aja isinya. Ya, kan? Nasi, rendang, sayuran, ikan laut, ya itu-itu aja. Ngga ada yang berkembang. Bapak saya, sotoy. Huh.




Memasuki SMP, saya mulai sedikit percaya dengan pernyataan bapak. Bagaimana tidak, dalam hal berkomunikasi saja sudah berubah. Dulu untuk menghubungkan komunikasi dua orang yang berjauhan, kita membutuhkan telfon berkabel. Tapi, sekarang sudah jarang ditemukan karena telfon yang berkabel sudah tergantikan oleh sebuah handphone. Hidup makin praktis kalau kata saya. Untuk berkomunikasi, kita tidak perlu repot lagi ke mana-mana membawa telfon berkabel, tapi cukup hanya dengan membawa handphone, kita sudah bisa berkomunikasi.
Dalam dunia fashion pun juga demikian. Kita ingat di mana era 90-2000an adalah zamannya celana komprang atau bisa juga disebut celana yang semakin ke bawah semakin besar. Ya, pada zamannya, celana komprang adalah sebuah celana yang hampir dimiliki oleh berbagai kalangan. Mulai dari anak-anak, remaja hingga bapak-bapak. Tak perduli berapa usia mereka, sebab memiliki celana komprang adalah kebahagiaan tersendiri bagi para pemakainya.
Memasuki tahun 2005, tren memakai celana komprang sedikit menurun. Sebagian orang beralih ke celana standart alias celana yang dari ujung atas sampai ke bawah ukuran lebarnya sama. Entah apa yang mendasari perubahan tren tersebut. Mungkin sudah bukan zamannya, pikir saya. Seiring perubahan tren itu, datanglah celana model baru yang ramai dipakai sampai sekarang. Yup, celana pensil, saya menyebutnya. Celana ini memiliki desain yang semakin ke bawah semakin kecil ukurannya. Motifnya pun banyak. Tidak menjurus satu model. Nama modelnya pun, saya tak hafal saking banyaknya.

Kalau ngomongin fashion itu nggak ada abisnya, ya nggak, sih? Akan ada aja yang baru. Apalagi kalau fashion cewek, beeeeh. Yang model ini lah, yang model itu lah. Untungnya saya cowok, jadi nggak terlalu banyak model. Cukup celana jeans, hem lengan panjang, sepatu pantofel, kelar urusan. Oh iya, kalian tau nggak, salah satu online shop terbesar di Indonesia lagi ada diskon besar-besaran loh? Itu, tuh, Zalora khusus tanggal 11 November ini mengadakan Online Revolution.




Apa sih Online Revolution itu? Online Revolution merupakan hari yang menyediakan berbagai promo terbaik serta diskon menakjubkan yang khusus dihadirkan untuk para pembeli. Tujuan utama Online Revolution adalah untuk membuat para pembeli mendukung campaignOnline Revolution sebagai solusi untuk menunjukkan bahwa portal atau jalur belanja online adalah pilihan terbaik untuk berbelanja yang memuaskan keinginan para pembelinya. Tanpa perlu repot berdesakan, produk pesanan kalian akan diantar dengan selamat sampai di alamat tujuan. Enak nggak? ya enak lah. Seperti kata saya di atas, hidup itu berkembang. Yang rumit bakal terganti oleh yang praktis. Ya semacam ini, kita tinggal duduk di depan layar, memilih pakaian yang mau dibeli, bayar, dan tunggu barang yang akan datang. Untuk urusan pembayaran pun, kalian nggak perlu takut, sebab, Zalora juga melayani pembayaran di tempat (COD) yang meliputi 100 kota di seluruh Indonesia. Simple bukan? terus kalau kalian bertanya di Zalora apa aja yang didiskon, saya hanya bisa menjawab, SEMUANYA.
Nah, itu aja sebagian perkembangan hidup yang saya tahu. Seperti yang saya ceritakan di atas, perkembangan model celana. Sederhana, cuma kalau kita pikir-pikir, celana memang sering berkembang modelnya. Yang nggak pernah berkembang cuma satu. Nasi Padang.
Kalau menurut kalian, apa saja yang sudah berkembang dalam hidup ini? Ceritakan di kolom komentar, yaa.
Continue reading Hidup itu Berkembang