Kamis, 07 April 2016

Selamat Menikah Pak Ketua Karang Taruna




Deni, menikah. Dia adalah salah seorang teman sekaligus ketua Karang Taruna di kampung saya. Ada rasa bahagia sekaligus sedih. Bahagia karena dia telah mengikat janji suci bersama orang yang dia sayang. Sedih, karena jelas waktu bermain bersama dia akan sedikit mulai berkurang. Bukankah kehidupan memang begitu? Sewaktu kecil, kita bisa berjam-jam hanya untuk sekadar bermain. Tapi, jam-jam itu akan berkurang dengan sendirinya ketika kita beranjak dewasa. Bahkan, sehari untuk bisa bermain lagi, rasanya sudah tidak mungkin.

Deni adalah orang paling royal dalam urusan sumbang-menyumbang di kampung saya. Nggak pelit dan nggak ribet. Misal ada suatu acara, dia yang akan mengkomando untuk menyumbang terlebih dulu. Jumlahnya kadang tak tanggung-tanggung. Tiap Agustusan, merayakan tahun baru, ataupun masakan di malam minggu, dia nggak pelit. Karena alesan itulah, saat pernikahannya, seluruh anggota karang taruna saya suruh ikut bantu-bantu. Saya nggak mau dicap sebagai anggota karang taruna yang tak tahu diri. Nggak mau!

Sebagai kakak kelas saya waktu madrasah, malam itu terlihat banyak sekali teman-teman Deni waktu madrasah yang datang. Salut sama mereka. Kenapa? Sepengalaman saya, teman-teman madrasah itu biasanya jarang ada yang datang. Kalaupun ada, paling bisa dihitung dengan jari. Ya, mungkin gara-gara sudah lama nggak ketemu. Jadi kalau datang itu nggak enak kalau nggak datang bareng-bareng. Saya, sih, mikirnya begitu. Dan biasanya yang paling banyak datang adalah mereka yang berasal dari teman sepekerjaan. Percaya, deh, ntar kalau kalian akan menikah, undang mereka yang sepekerjaan sama kalian. Pasti mereka datang, kalaupun nggak datang, biasanya mereka akan menanyakan nomer rekening kalian. Saya, sih, nggak bohong.

Ngomongin pernikahan, saya jadi ingat perkataan dari teman saya yang mengatakan: 'menikahlah kalau sudah siap'. Saya sependapat dengan teman saya. Kalau kalian tidak sependapat, saya nggak peduli. Sejujurnya, saya tidak tahu batas minimal laki-laki itu boleh menikah di umur yang ke berapa. Pun juga kalau perempuan, saya juga tidak tahu. Tapi, saya cuma menyimpulkan secara sederhana begini. Mari menikah ketika kita sudah siap. Artinya adalah siap dalam hal keuangan, mental, dll. Intinya kita siap aja dulu. Kalau di usia 23 sudah siap secara keuangan, mental dan segala tetek bengeknya, ya silakan, lanjut ke KUA. Asal jangan segalanya udah siap, tapi calonnya nggak ada, ini yang ribet.

Apa yang saya katakan di atas ngga harus kalian percaya atau kalian ikuti. Percaya aja sama Tuhan. Kalau percaya saya, ntar takutnya musyrik. Toh, setiap orang memiliki pendapat masing-masing. Dan di atas adalah sebatas pendapat saya. Perhitungan saya, kalau dah siap secara keuangan, kan, enak. Bikin acara pernikahan pake duit sendiri, nggak ngerepotin orang tua lagi. Tapi, apapun alasan kalian, jangan lupa menikah. Sebab, sebaik-baiknya hidup adalah mereka yang berpasang-pasangan. 

Terakhir, selamat menempuh hidup baru, Pak Ketua Karang Taruna.   






         

3 komentar:

  1. selamaat menempuh hidup baru buat temenya sob, sukses selalu :)

    BalasHapus
  2. Usia 23 ya... Hmm... nggak kecepetan bro?

    Btw, enak ya punya teman kayak Deni itu. Gue juga punya dan belum nikah, tapi sekarang udah jarang ketemu karena jauhan. *nangis*

    BalasHapus
    Balasan
    1. TAEEE KUDAA JANGAN CURHAT DI SINIIII.

      Btw, tulisan yang di pandit bagus. Udah gue baca kemaren pas abis mention lo.

      Hapus