Selasa, 15 Desember 2015

Ah Nenek



Hari ini, tepat 100 hari saya ditinggalkan nenek. Orang yang di mana saya menghabiskan hari bersamanya. Kesedihan, kebahagiaan, pernah saya rasakan bersama nenek. Ia adalah orang yang sabar. Kalau kalian tak percaya, saya tak peduli.

Tepat tanggal 30 Agustus 2015 kemarin, nenek menghembuskan nafas terakhirnya. Saat itu, saya tak tahu. Saya sedang di rumah menonton televisi. Ada keponakan yang datang ke rumah, katanya, nenek nggak sadar. Sontak membuat saya terkejut. Bagaimana tidak, malam sebelumnya saya dan ibu masih ngobrol bersama nenek. Saya pun bergegas menuju rumah nenek yang nggak jauh dari rumah saya. Sesampainya di sana, sudah banyak saudara-saudara yang berdoa nan cemas sembari menanti kepastian apakah nenek meninggal atau tidak. 

Saya pun terdiam di bawah tangga. Tak sadar, dikit demi sedikit air mata saya membasahi muka. Goresan kenangan yang pernah saya lalui bersama nenek pun mendadak terlintas di pikiran. Teringat betapa lucunya nenek yang sok makan pedas ketika berbuka puasa, padahal ia tak pernah suka makan pedas. Saya pun tersenyum. Nenek sangat lucu bagi saya. Ia juga pernah menyiram saya dari lantai dua gara-gara saya membuat rame di siang bolong. Ya, nenek memang tak suka keramaian di siang hari. Menurutnya, itu mengganggu waktu tidur siang. Sewaktu madrasah, nenek selalu mengingatkan saya untuk selalu menjaga sholat lima waktu, tapi saya tak pernah mendengarkan. Alhasil, peringatan itu pun masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Sholat saya sering bolong. 

Sejak saya dilahirkan ke dunia, nenek sudah tidak bisa melihat. Nenek tak pernah tahu wajah saya. Meskipun ia tak tahu, tapi kasih sayang nenek tak pernah berkurang kepada saya. Ah, bukankah kasih sayang sesungguhnya memang begitu? Kondisi nenek yang sudah tua, membuat penglihatannya rabun. Hal ini sangat berpengaruh terhadap kegiatannya sehari-hari. Di usianya yang senja, nenek banyak menghabiskan waktunya di rumah. Yang bisa dilakukan hanyalah mendengarkan radio, beribadah, tidur, dan bercerita. Bagi saya, nenek adalah pencerita yang baik. Saya selalu menanyakan kegiatannya sewaktu masih muda saat masih tinggal di Madura. Tentu, nenek pun bercerita dengan antusias. 

Saya pernah iseng nanya, 'nek, dulu pas zaman penjajahan, nenek sembunyinya di mana?'

'E gunung' jawabnya dengan bahasa Madura, singkat. Artinya, di gunung.

'Terus kalau mau makan gimana?'

'ye ngakan, cong. Ngebeh alat masak deri romah. Terus e gunung, masak' Artinya, ya makan, mas. Bawa alat dari rumah. Terus di gunung baru masak.

'Oh' kata saya, bengong. Setelah itu, saya lupa apa percakapan selanjutnya.

Nenek saya berasal dari Madura. Tapi, pertengahan tahun 1980an pindah ke Sidoarjo. Alasannya, anak nenek yang pertama sudah bekerja dan bisa dibilang sudah sukses pada zamannya. Oleh sebab itu, nenek serta anak-anaknya diajak berpindah ke Sidoarjo. Nenek pun tak menolak ajakan tersebut. Tetapi, nenek hanya berpesan, kalau nanti meninggal, ia ingin dimakamkan di Madura. 

Saya masih terus mengingat, mengingat hal-hal kecil yang pernah saya lakukan bersama nenek, sampai tak sadar ada sebuah tepukan ke pundak saya, dan berkata, 'nenek meninggal'.

Saya mendadak lemas, tak percaya bahwa nenek meninggal. Dunia mendadak terasa begitu gelap. Awan kelabu seakan menyelimuti rumah nenek saat itu. Saya berduka, ibu pun demikian. Tak ada yang lebih baik untuk nenek, selain berdoa dan merelakan. 

Selamat jalan, nenek.



Continue reading Ah Nenek

Jumat, 04 Desember 2015

Hidup itu Berkembang

Sewaktu kecil, bapak saya pernah berkata bahwa: hidup itu terus berkembang dan semakin maju. Apa yang tidak ada di masa lalu, kemungkinan akan ada di masa yang akan datang. Apa yang meribetkan, akan tergantikan oleh yang lebih praktis. Dulu saya tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh bapak. Bukan, bukan karena durhaka, tapi lebih karena saya belum menemukan bukti bahwa apa yang dikatakan bapak itu benar. Contohnya: nasi padang. Dari zaman batu sampai zaman sekarang, nasi padang juga gitu-gitu aja isinya. Ya, kan? Nasi, rendang, sayuran, ikan laut, ya itu-itu aja. Ngga ada yang berkembang. Bapak saya, sotoy. Huh.




Memasuki SMP, saya mulai sedikit percaya dengan pernyataan bapak. Bagaimana tidak, dalam hal berkomunikasi saja sudah berubah. Dulu untuk menghubungkan komunikasi dua orang yang berjauhan, kita membutuhkan telfon berkabel. Tapi, sekarang sudah jarang ditemukan karena telfon yang berkabel sudah tergantikan oleh sebuah handphone. Hidup makin praktis kalau kata saya. Untuk berkomunikasi, kita tidak perlu repot lagi ke mana-mana membawa telfon berkabel, tapi cukup hanya dengan membawa handphone, kita sudah bisa berkomunikasi.
Dalam dunia fashion pun juga demikian. Kita ingat di mana era 90-2000an adalah zamannya celana komprang atau bisa juga disebut celana yang semakin ke bawah semakin besar. Ya, pada zamannya, celana komprang adalah sebuah celana yang hampir dimiliki oleh berbagai kalangan. Mulai dari anak-anak, remaja hingga bapak-bapak. Tak perduli berapa usia mereka, sebab memiliki celana komprang adalah kebahagiaan tersendiri bagi para pemakainya.
Memasuki tahun 2005, tren memakai celana komprang sedikit menurun. Sebagian orang beralih ke celana standart alias celana yang dari ujung atas sampai ke bawah ukuran lebarnya sama. Entah apa yang mendasari perubahan tren tersebut. Mungkin sudah bukan zamannya, pikir saya. Seiring perubahan tren itu, datanglah celana model baru yang ramai dipakai sampai sekarang. Yup, celana pensil, saya menyebutnya. Celana ini memiliki desain yang semakin ke bawah semakin kecil ukurannya. Motifnya pun banyak. Tidak menjurus satu model. Nama modelnya pun, saya tak hafal saking banyaknya.

Kalau ngomongin fashion itu nggak ada abisnya, ya nggak, sih? Akan ada aja yang baru. Apalagi kalau fashion cewek, beeeeh. Yang model ini lah, yang model itu lah. Untungnya saya cowok, jadi nggak terlalu banyak model. Cukup celana jeans, hem lengan panjang, sepatu pantofel, kelar urusan. Oh iya, kalian tau nggak, salah satu online shop terbesar di Indonesia lagi ada diskon besar-besaran loh? Itu, tuh, Zalora khusus tanggal 11 November ini mengadakan Online Revolution.




Apa sih Online Revolution itu? Online Revolution merupakan hari yang menyediakan berbagai promo terbaik serta diskon menakjubkan yang khusus dihadirkan untuk para pembeli. Tujuan utama Online Revolution adalah untuk membuat para pembeli mendukung campaignOnline Revolution sebagai solusi untuk menunjukkan bahwa portal atau jalur belanja online adalah pilihan terbaik untuk berbelanja yang memuaskan keinginan para pembelinya. Tanpa perlu repot berdesakan, produk pesanan kalian akan diantar dengan selamat sampai di alamat tujuan. Enak nggak? ya enak lah. Seperti kata saya di atas, hidup itu berkembang. Yang rumit bakal terganti oleh yang praktis. Ya semacam ini, kita tinggal duduk di depan layar, memilih pakaian yang mau dibeli, bayar, dan tunggu barang yang akan datang. Untuk urusan pembayaran pun, kalian nggak perlu takut, sebab, Zalora juga melayani pembayaran di tempat (COD) yang meliputi 100 kota di seluruh Indonesia. Simple bukan? terus kalau kalian bertanya di Zalora apa aja yang didiskon, saya hanya bisa menjawab, SEMUANYA.
Nah, itu aja sebagian perkembangan hidup yang saya tahu. Seperti yang saya ceritakan di atas, perkembangan model celana. Sederhana, cuma kalau kita pikir-pikir, celana memang sering berkembang modelnya. Yang nggak pernah berkembang cuma satu. Nasi Padang.
Kalau menurut kalian, apa saja yang sudah berkembang dalam hidup ini? Ceritakan di kolom komentar, yaa.
Continue reading Hidup itu Berkembang

Senin, 30 November 2015

Marlien Putus


hllol

Selepas tol suramadu, saya buru-buru mengambil handphone untuk mengecek apakah ada pesan dari orang tua saya, yang tiap jam selalu memberikan pertanyaan ‘udah nyampe mana?’. Dan benar, bapak saya bertanya lagi seperti itu untuk yang entah ke berapa kalinya. Bersamaan dengan pesan itu, ada satu pesan messengger dari seorang teman saya.
‘Ntar malem ke mcd, yuk! Aku mau curhat’.
‘Iya, kalau aku nggak capek’. Balas saya. 
Sesampainya di rumah, saya kembali mengecek handphone, ada pesan dari dia, lagi. Katanya, ‘jangan lupa tar malem’. Dia mengingatkan.
‘Iya,’ balas saya, meyakinkan.
Malemnya sehabis isya, dengan keadaan pegal-pegal akibat perjalanan jauh, saya memberanikan diri menuju ke mcd di sekitaran kota saya. Sambil menunggu kedatangannya, saya memesan kentang goreng dengan mac coffe iced.
‘Aku udah nyampek’ kata saya, lewat sebuah messengger.
Tak selang berapa lama, balesan singkat pun datang.
‘Iya, ma menit lagi nyampek. Macet, nih.’
Mungkin, karena malem itu arus balik, saya memaklumi apa yang ia sampaikan.
‘Ya’ balas saya, singkat.
Setelah hampir 1 bungkus kentang goreng habis, Marlien datang. Dan langsung menuju ke tempat duduk saya yang terlihat dari tempat parkiran. Ia mendekati saya dengan nafas yang tak beraturan. 
‘Kamu ga mau pesen apa gitu?’ kata saya membuka pembicaraan.
‘Ga usah deh’ jawabnya ketus.
‘Yee. Yaudah, kamu mau curhat apa?’ saya mengambil mac coffe iced, meminumnya. Rasanya enak.
‘Aku putus, zal’
Saya berhenti minum. Saya taruh lagi ke meja. Mungkin, kalau di tivi-tivi, adegan ini akan mengeluarkan semua kopi yang sudah saya minum, lalu disemprotkan ke wajah Marlien. Tidak, tidak, saya lebay.
‘Hah? Serius?’ tanya saya, kaget.
‘Iya, serius’ Marlien meyakinkan.
Saya minum mac coffe iced, lagi. Rasanya masih enak.
‘Emang gimana ceritanya?’
‘Yaaaa, dia udah ga nyaman lagi sama aku, zal’
‘Ga nyaman gimana? Ga kamu kasih jatah kali. Hahahaha’ canda saya.
‘Dia udah g yakin sama aku. Terus katanya, aku udah ga ada waktu buat dia’.
‘Selain itu, ada alesan lagi gak?’
‘Kayaknya, sih, dia udah ada yang lain, zal. Soalnya beberapa kali aku minjem hapenya, ga pernah dikasih. Padahal, sebelum-sebelumnya, hapenya aku buat game, dia ga marah’.
‘Owalah. Kalo gitu sih simple kesimpulannya, Marliiieeeeen’. Kata saya buru-buru mengambil kesimpulan dengan gobloknya.
‘Emang kesimpulannya apa?’
‘Mungkin, dia udah ada yang lain. Biasanya disebabkan karena dia ga dapet perhatian dari kamu. Dan kamunya juga ga ada waktu buat dia.
‘Terus?’
‘Ya terus dia minta putus dari kamu. Karena mungkin udah nggak ada kejelasan lagi dari kamu’.
‘Hmmm,, gitu yah?’
‘ENGGAK!’ Jawab saya ketus.
Saya masih duduk tepat berhadapan dengan marlien. Raut wajahnya terlihat jelas menandakan kebingungan. Bibirnya manyun kanan ke kiri, membuat saya yakin, bahwa Marlien masih ga percaya atas apa yang dia alami.
Ya, memang seharusnya dia tidak percaya. Setelah apa yang pernah dilalui berdua, yang kini pada akhirnya membawa mereka ke jurang bernama perpisahan.
‘Terus, aku harus gimana, zal?’ Dia bertanya lagi.
‘Yaudah lupain’ jawab saya, simple.
‘Yaaa kamu kok gitu’ kata marlien, sambil tarik-tarik tangan saya.
‘Ya, gimana lagi, lien. Aku kan dulu udah pernah bilang. Kalo kamu mulai menjalin hubungan, ya berarti kamu harus berani menanggung resikonya. Ya mungkin saat ini adalah resikonya’.
‘Terus?’
‘Terus nabrak’ kata saya kesel.
‘Ya kamu lupain’ lanjut saya. ‘Kalau dia udah minta putus, yaudah. Itu tandanya dia udah ga suka lagi sama kamu. Pliss deh, kamu kaya ga ada cowo aja. Huh’
‘Cowo sih banyak. Cuma yang pas cuma dia, zal’
‘Preet’ kata saya. ‘Udah, deh, ah. Lupain! Mending sekarang kamu fokus ke kelas tiga. Bentar lagi banyak les-les yang akan membuatmu cepet ngelupain dia’.
‘Gitu, ya?’.
‘Ya, mungkin, dengan semakin banyaknya kesibukan akan membuatmu cepet buat ngelupain dia. Semoga aja’ saya ngejelasin panjang lebar.
‘Ya, ya, ya, ya’ katanya.
‘Hmmm’ saya mendengung.
Mungkin, marlien hanyalah sebagian cewek yang tidak beruntung dengan hubungannya. Ketidakjelasan, ga ngasih kabar, adalah salah satu penyebab yang dapat saya tarik kesimpulan bahwa keduanya adalah salah satu biang perpisahan.
Kalau menurut saya, menjalin suatu hubungan sebenarnya cukup mudah. Kuncinya: sering-seringlah ngobrol. Melalui pesan singkat. Messengger. Menanyakan kabar. Sudah makan apa belum. Tadi pagi buang air besar di mana. Hal-hal sederhana seperti inilah yang membuat hubungan sulit dipisahkan. Tapi ya jangan lebay juga, dengan menanyakan kamu tadi berak di mana? .______.
Dan malam itu, kita berdua terlihat seperti orang berpacaran. Sayangnya, saya dan marlien tidak akan bisa menjadi kita.
Sidoarjo, 28 juli 2015
Continue reading Marlien Putus

Kamis, 26 November 2015

Kebahagiaan yang Sederhana



'gue seneng banget hari ini, zal' kata Akbar, dengan senyum kecil yang terpancar dari muka bulatnya.

'kenapa?' tanya saya, penasaran.

‘kemarin, gue abis traktir Elin makan.’

‘hah! Serius? Gak lo racun kan?’

‘ya enggak lah, mbut’ jawabnya dengan muka kesal.

‘hahahahaha becanda kali’ kata saya menenangkan.

Akbar adalah temen seperjuangan saya. Dia adalah salah satu cowok yang sering gagal dalam percintaan. Padahal, dari segi muka, Akbar bisa dibilang menengah ke atas. Keuangan? Apalagi. Berbanding terbalik sama saya. Muka aja, minoritas. Keuangan? Pfft. Jika diibaratkan sebuah hotel, Akbar itu bintang lima. Saya? boro-boro berbintang. Cuma, kita berdua ini sama. Sama-sama kaya hotel yang nggak laku. Dari sini saya sadar, yang namanya jomblo itu gak pernah membeda-bedakan. Siapapun pernah dijamah olehnya. Contohnya? saya. *eh

Sebagai seorang teman yang sudah berkawan lama, kita berdua selalu kumpul di waktu malam mulai menampakkan jati dirinya. Kita berdua kadang ngobrol ngalor-ngidul ngomongin negara. Sesekali kita berdebat mencari kebenaran. Kalian gak kebayang, kan, kalau punya pacar kayak kita? Yaa gak keurus lah. Wong kita berdua ngurus negara aja ribut, apalagi ngurus kalian. Hahahaha

Ngomongin soal negara, saya inget betul kejadian pilpres tahun lalu. Kejadian di mana ngebuat saya ga berteman sementara sama Akbar. Penyebabnya jelas, kita berdua berbeda pilihan. Akbar pilih yang A, sedangkan saya, yang B. Sebagai pendukung yang B, rasanya kurang menjiwai kalau hanya modal mencoblos saja. Saya pun berpikir, kenapa nggak saya kampanyekan saja di media sosial. Ide itu muncul ketika para following twitter saya juga mengkampanyekan si B. Saya gak mau kalah, dong. Akhirnya, beberapa kali saya kampanye di Facebook, twitter, status BBM. Semua media sosial yang saya punya ga pernah luput dari kampanye untuk mendukung si B. Meskipun sesekali saya kampanyenya juga terkadang menjelekkan si A.

‘jangan coblos si A. Si A itu mantannya banyak, selingkuhannya apalagi’

‘coblos saja si B. Jelas-jelas ahli sodaqoh’

Yah begitulah.

Sampai suatu ketika, Akbar membaca salah satu status kampanye saya di media sosial. Dia ga terima, kalau pilihannya dijelek-jelekkin. Dia mengomentari salah satu status kampanye saya.

‘eh, lo ada bukti gak, zal, kalau si A itu mantannya banyak? Hah!’

Saya yang membaca komentarnya Akbar, pengen sesekali balas komentarnya, tapi, apa kata, saya nggak balas komennya. Saya sadar, Akbar pasti emosi ngeliat status saya. Orang yang lagi emosi itu nggak bisa dilawan, sebab, kalau dilawan, bisa-bisa, kita berdua berdebat sampai kiamat. Toh kalaupun saya di posisi Akbar juga bakalan melakukan hal yang sama. Mencari bukti bahwa apa yang saya katakan itu benar.

Gak berhenti di media sosial, nampaknya Akbar kurang puas ngelihat saya nggak balas komennya. Akhirnya, dia ngebawa pertikaian ini ke ranah dunia nyata.

‘eh lo ngapain, sih, coblos si B?’ kata Akbar dengan nada tinggi.

‘ya pilihan kita kan gak harus sama, bar’ jawab saya singkat.

‘ya tapi lo gausah jelek-jelekkin si A dong, pake ngatain mantannya banyak lagi’

‘ya terserah gue dong, bar’

‘awas, ya, kalau sampe gue baca status kek gitu lagi’ Akbar mengancam.

Saya yang sadar kalau diterusin bisa-bisa sampai kiamat, akhirnya memutuskan untuk pergi dan menjauh dari Akbar. Semenjak kejadian itu, saya jarang berkumpul lagi dengan Akbar. Kurang lebih dua mingguan saya nggak berkumpul dengan Akbar. Kadang saya ngerasa kehilangan, kadang juga pengen nelen jamban kalau liat dia emosi. Sampai suatu ketika, pemilihan presiden pun datang. Saya coblos si B, Akbar? saya nggak tau dia coblos apa. Tapi, you know lah, palingan dia juga coblos si A. Sampai tulisan ini diketik, saya belum bertanya ke Akbar, kalau dia dulu coblos apa.

Beberapa hari setelah diumumkannya si B menjadi presiden, saya mencoba mendekat lagi ke Akbar. Mencoba mencairkan suasana. Suasana yang saya sendiri lupa gimana rasanya. Seperti halnya air dan gas yang nggak bisa bersatu, maka, kita hanya butuh dua hal; mengalah dan mengikuti salah satunya. Saya pun mengikutinya. Kadang, kalau lagi berkumpul, sesekali Akbar ngecengin saya dengan, ‘cie yang presidennya menang, cie.’ Saya menaikkan alis ke atas, sambil bergumam, ‘kayaknya ada yang salah dengan akbar’.

Setelah menjauh dari kejadian itu, saya sadar, ternyata perbedaan itu hanya butuh dihargai. Tidak dengan mencari siapa yang paling benar, dan juga siapa yang paling salah. Saya pun kembali berteman dengan Akbar seperti biasanya. Tanpa embel-embel perbedaan pilihan presiden. Sesekali setiap nongkrong, kadang saya inget-inget kejadian itu dengan Akbar sebagai pelajaran yang pastinya akan menjadi kenangan.

‘bar, lo inget gak, kita pernah ga berteman gara-gara pemilu?’ tanya saya ke Akbar.

‘iya, gue inget’ kata akbar. ‘hahaha. Ternyata kita bego, yah’ lanjutnya.

‘bar’ kata gue. ‘lo sehat? Hahaha’

Setiap kali saya mengingat kejadian itu, kadang saya tertawa sendiri. Kadang juga diketawain orang gara-gara saya ketawa sendirian kaya orang bego.

Beberapa hari yang lalu ketika berkumpul, Akbar kelihatan nggak seperti biasanya yang suka minum kopi dan ngerokok. Saya melihat, belum sebatang rokok pun yang dia hisap. Mungkin masih terbawa suasana kebahagian, pikir saya. Malam itu seperti miliknya. Senyumnya, tingkah lakunya, gak seperti biasanya. Entah mendapatkan hidayah di mana dia. Dia lanjut bercerita kalau abis ngajak elin makan. Saya sebagai temen tentunya seneng, dong. Seenggaknya apa yang diharapkan Akbar telah berhasil. Apa yang diperjuangkan udah ada secercah harapan untuk mulai ke tahap berikutnya. Suatu hari akbar pernah bilang; ‘gue pengen banget zal, ngajak elin makan. Tapi bisa ga ya?’. Dan sekarang, Akbar sudah menemukan jawaban tersebut. Jawaban yang dulu pernah membuat Akbar bertanya-tanya penuh penasaran.

‘gimana perasaan lo setelah berhasil ngajak elin makan?’ tanya saya membuka perbincangan malam itu.

‘seneng, pake banget’ jawabnya singkat.

‘udah gitu aja?’

‘iya, udah gitu aja’

‘sederhana banget’ kata saya.

‘gue, sih, ga perlu yang gimana-gimana, ya, zal. Cukup bisa ngajak elin makan aja, gue udah seneng’ katanya. ‘makanya, lo harus cobain yang kek gini ini’ tegasnya.

‘maksud lo?’

‘ya elo coba ngajak cewek yang elo suka ke mana gitu, kek. Nganterin pulang sekolah atau apa gitu. Pokoknya yang kecil-kecil aja. Lo pasti bisa ngerasain apa yang gue rasain sekarang, zal’

‘oh gitu, ya’ kata saya sembari mikir, siapa ya, yang mau diajak makan?

Sampai di sini, saya ngerti betapa sederhananya arti sebuah kebahagian bagi Akbar. Sesederhana mengajak Elin makan. Dan sesederhana itu cara Akbar berhenti menghisap rokok sejenak.
Continue reading Kebahagiaan yang Sederhana

Senin, 23 November 2015

Senyum Bulan Agustus


Bulan kemarin, cukup menyenangkan, gaes. Betapa tidak, saya yang notabene sebagai generasi kurang optimis dipilih warga menjadi wakil panitia pelaksana Agustusan. Tugasnya adalah menyusun segala acara yang ada pada bulan tersebut. Seperti; perlombaan, tasyakuran dan jalan-jalan sehat. Ya, acara-acara tersebut memang cukup mainstream di banyak tempat. Terlebih, kegiatan seperti itu mungkin sudah menjadi tradisi/template yang sudah mendarah daging bagi bangsa Indonesia.
Awal mulanya saya sempat menolak untuk dijadikan tersangka wakil. Ya gimana nggak nolak, lah wong tahun-tahun sebelumnya saya merasakan sendiri bagaimana rasanya menjadi anggota panitia Agustusan. Sibuk. Mondar-mandir sana-sini. Mulai dari ngurusin rapat sama orang-orang. Cari pemasukan buat perlombaan. Dan cari hadiah buat jalan-jalan sehat. Karena sudah dipercaya warga sebagai wakil, mau nggak mau saya harus menjalankan amanah  tersebut dengan elegan. Saya nggak mau ada warga yang demo karena penolakan saya sebagai wakil. Sebab, pemimpin yang bijaksana adalah mereka yang mau mendengarkan aspirasi rakyat. #Lha
Beberapa hari setelah ditetapkannya saya menjadi wakil, saya langsung mengundang para pemuda, ibu-ibu rumah tangga, dan para sesepuh dari kampung untuk rapat di basecamp karang taruna. Harapannya cuma satu. Mendapatkan usulan serta dukungan dari para warga. Tiap-tiap warga berhak mengajukan usulan. Namun sayangnya, hanya para sesepuh yang berani melontarkan usulan.
‘Wes podo koyo tahun wingi ae lomba e’ teriak seseorang dari pojokan.
‘Iyo, podo koyo tahun wingi ae. Ben ga repot-repot’ teriak sebelahnya lebih kenceng.
Saya bosan. Setiap kali saya rapat bersama warga, orang itu-itu aja yang mengusulkan saran. Selebihnya, para ibu-ibu yang hanya, ‘iya, iya’ aja kaya tumis lemper. Nggak ada yang berani ngomong. Padahal, tujuan rapat kan ya biar menemukan solusi bersama. Supaya di belakangan nggak ada geruneng dalam hati kaya kebanyakan orang. Biasanya, orang-orang kampung saya suka gitu. Pas rapat, ga ada yang ngomong. Giliran hasil rapat udah diketok, dah diputusin, eh, gerunungnya belakangan gara-gara ga setuju sama hasil rapat. Karena hal seperti itu sudah saya ketahui dari sebelumnya, maka saya nggak kaget kalau tiba-tiba ada warga mendadak stroke ringan gara-gara nggak setuju sama hasil keputusan rapat. Nggak edan blas.

Memasuki bulan Agustus, saya dan temen-temen mulai melaksanankan beberapa perlombaan yang sudah ditentukan. Seperti; lomba makan kerupuk, lomba kelereng, dan beberapa lomba lainnya.
Setiap kali perlombaan, seluruh panitia pelaksana saya wajibkan hadir. Bukan bermaksud kejam. Tapi, demi kekompakan dan kebersamaan. Meskipun, terkadang ada saja (oknum) yang hanya bisa memerintah, tanpa bekerja langsung. Saya cenderung acuh. Dan kadang bodo amat. Sejujurnya, saya adalah tipe lelaki yang sedikit ngomong, tapi banyak kerja. Oleh karena itu, saya paling kesel kalau ada orang-orang yang memerintah, tapi dia sendiri tidak bekerja. Rasanya, pengin sekali ceburin dia ke lautan nanah.
Seminggu setelah perlombaan atau bertepatan pada tanggal 16 Agustus, saya mengadakan tasyakuran bersama warga. Dalam hal ini, setiap warga diharuskan membawa beberapa bungkus nasi guna dibagikan setelah tasyakuran. Konon, bagi kampung saya tasyakuran ini adalah wujud rasa syukur kami atas kemerdekaan yang telah diraih oleh para pejuang.

Ketika acara tasyakuran selesai, ada rasa bahagia tersendiri saat melihat warga berkumpul menjadi satu, di satu tempat. Sebab, momen seperti ini jarang terlihat di kampung saya. Guyub dan rukun.
Memasuki minggu terakhir di bulan Agustus, saya disibukkan dengan belanja hadiah perlombaan dan hadiah jalan sehat. Bisa dibilang, pada posisi ini saat-saat yang sangat menyibukkan. Pergi dari satu toko, ke toko lainnnya untuk mencari harga yang lebih murah. Ya, meskipun, ujung-ujungnya pilihan jatuh pada toko pertama.
Menurut saya, muter dari satu toke ke toko lainnya demi mencari harga yang lebih murah ini seperti pedoman hidup panitia setiap  Agustusan. Beda lagi kalau panitianya anggota DPR, bisa-bisa hadiah perlombaan aja dibelikan kasur seharga 12 Miliar. *eh
Sesuai hasil keputusan rapat, untuk hadiah perlombaan saya belikan buku dan alat-alat tulis. Sedangkan untuk jalan sehat, hadiah utamanya saya belikan mesin cuci. Meskipun nggak begitu mewah dalam hal hadiah, tapi warga kampung saya antusias untuk mengikuti jalan sehat. Terbukti dengan 2500 kupon yang habis terjual.

Tidak lupa, kami dari panitia juga mendatangkan elektone atau biasa disebut orkes tapi dalam skala yang lebih kecil. Bukan, bukan untuk dugem. Tujuannya jelas sebagai hiburan. Biar warga nggak monoton mendengarkan nomer undian.
Penyegaran. Cocok buat hidupmu yang berantakan.
Konon, dangdut tanpa sawer itu bagaikan berak tanpa cebok, nggak lengkap. Alhasil, panitia pun sebagian ada yang nyawer ke sang penyanyi. Entah ini tradisi dari negara mana. Yang jelas, sawer is like bagi-bagi duit secara gratis ke sang penyanyi.

Setelah acara jalan sehat selesai, kami dari panitia diundang RW untuk mengikuti karnaval. Acara yang nggak wajib-wajib amat menurut saya. Soalnya nggak ada dalam agenda rapat. Tetapi, demi menghormati seduluran dengan kampung sebelah, sebagian panitia ada yang mengikuti karnaval. Yang menarik dari karnaval sendiri adalah ketika melihat para warga berbondong-bondong merias diri sekeren mungkin atau sejelek mungkin. Ya, pilihannya cuma dua, keren atau jelek. Kalau keren jangan nanggung, kalau jelek juga jangan nanggung. Harus total. 

Sore itu, cukup melelahkan bagi saya. Tapi, saya seneng banget. Seneng, ngelihat warga bisa menutup bulan Agustus dengan sebuah senyuman. Senyuman yang hanya bisa dilihat setahun sekali. Senyum bulan Agustus.
Continue reading Senyum Bulan Agustus

Minggu, 22 November 2015

Cerita Bulan Puasa 2014


http://www.assabile.com/a/date-first-day-ramadan-beginning-ramadan-2

Bulan puasa kemarin, saya jatuh cinta, lagi. Ya, setelah sekian lama vakum dari dunia percintaan, akhirnya saya terjun kembali ke dalamnya. Cewek yang bernama lengkap Intan Alifa adalah segala penyebab saya jatuh cinta. Terima kasih, Intan. Terima kasih.
Bulan Ramadan kemarin adalah bulan yang menurut saya paling spesial di antara bulan ramadan sebelumnya. Bulan Ramadan kemarin terasa spesial, sebab, hati saya ndak kosong lagi seperti sebelumnya. Di mana sebelumnya itu terlihat seperti rumah kosong yang tak berpenghuni, tak ada yang menempati, dan hanya butiran debu yang dengan terpaksa masuk dari jendela. Kiranya seperti itulah kekosongan hati saya selama ini. Menyedihkan? memang. Mengalami kekosongan yang cukup lama, tidak membuat saya menyerah dalam hal percintaan. Bahkan tidak ada sedikitpun trauma dalam diri saya untuk kembali memulainya. Kini, hati yang tadinya kosong, terisi kembali oleh seorang cewek yang jadi pegawai di sebelah toko bapak saya. Entah dia khilaf atau kasihan sama saya. Hati yang tadinya berdebu itu, akhirnya ada yang bersedia membersihkan, dia adalah Intan.
Sebagai penerus kerajaan bisnisnya bapak, setiap ramadan saya selalu ikut jaga toko. Disela-sela jaga toko, saya selalu nyempetin buat flirting-flirting bego gitu, sama pegawai toko sebelah. Kadang setiap kali dia mau ke mushollah, saya ikutin, terus saya siram pake air dari atas tangga. Terus dianya ngambek. Mungkin, hal seperti itu terlihat norak bagi kalian. Tapi, bagi orang yang sedang jatuh cinta, hal seperti itu terasa sangatlah indah. Beneran.Kalau lagi ramadan seperti ini, entah kenapa pegawai di toko sebelah bapak saya cantik-cantik.  Seperti darah segar gitu. Kadang saking banyaknya, saya suka bingung milihnya. Andai saja mencintai 10 orang dan diajak kencan bersamaan itu tidak salah. Hemmm, pastinya saya terkapar kelelahan.
Sebelum kedatangan Intan, sebenarnya saya udah naksir sama seorang cewek, namanya Marlien. Cantik, sih. Tapi, ya, gitu. Si Marlien ini terlalu perhatian banget sama saya. Lah, saya sendiri ndak terlalu suka diperhatikan secara berlebihan. Entah Marlien yang berlebihan atau gimana. Jujur, saya ndak suka seperti itu. Kalau saya dikasih perhatian lebih, saya ngerasa semacam nggak nyaman di diri saya. Seperti, ini bukan diri saya, tapi, ini diri saya yang kamu inginkan. Mau gini, takut dibilang benar. Mau gitu, takut dibilang salah. Jadinya, saya ngerasa terjebak dalam zona jaga image semata. Lagian, saya juga ndak suka yang berlebihan. Sebab, yang berlebihan itu ndak baik. #Halah
Dulu pertama kali deketin Marlien, saya biasa-biasa aja. Saya pikir, mungkin marlien ndak selera sama saya. Setelah sehari, seminggu, sebulan, akhirnya saya ngerasa cocok sama si Marlien. Pengen saya tembak, tapi hati berkata: “biarin aja, ngambang tanpa status.” Dalam masa pendekatan, saya sudah beberapa kali ngajak Marlien buat makan bareng. Mulai dari beli martabak, hingga ke masakan padang. Semuanya saya lakukan hanya sebatas teman, bukan seperti seorang pacar. Sampai suatu ketika, datanglah sosok Intan yang mengalihkan pandangan saya dari Marlien. Namanya juga cowok, ndak bisa liat cewek lebih cantik, akhirnya, saya perlahan-lahan mulai menjauh dari Marlien.
Seiring berjalannya waktu, saya mulai mencari cara supaya bisa mempunyai nomernya Intan. Saya pun coba menanyakannya ke pegawai bapak.
“Dev, kamu punya nomer hape mbak itu ngga?” tanya saya ke Devi. Devi adalah salah satu cewek yang kosannya sekomplek dengan Intan.
“mbak siapa mas?”
“mbak yang itu loh” kata saya sambil menunjuk ke arah Intan.
“owalah mbak itu, toh”
“kamu kenal ndak?”
“ndak!” jawabnya mantap. “Mas naksir ya?” lanjutnya penasaran.
“aku mintain nomernya, Dev!”
“wani piro, mas??” jawabnya datar.
“owalah, dev, dev. Duwit maneh sing dipikirno!” kata saya, kesal.
Sejenak, saya berpikir. Pada titik ini, saya ngerasa gagal memiliki pegawai yang bisa diajak berkompromi dalam percintaan. Saya ngerasa gagal mendidik pegawai untuk tidak mata duitan. Saya ngerasa berdosa, saya hina, saya ndak perawan. #Lah
Setelah mengetahui kalau pegawai bapak saya ke-mata-duitan, saya memutuskan untuk mencari cara lain. Cara yang mungkin seekor amoeba pun bakalan berpikir dua kali untuk melakukannya. Cara yang menurut saya membutuhkan daya yang cukup besar. Caranya yaitu dengan meminta langsung ke anaknya. Sebagai cowok alumni pesantren, yang hidupnya bermadzhab: “bisa bertemu dengan cewek adalah surga”, berkenalan dan langsung minta nomer handphonenya itu ndak banget. Ndak pernah diajarkan di pesantren, di madrasah juga ndak, di tempat ngaji apalagi. Tapi, yang membuat saya yakin ya tetep quote iki: “cinta itu butuh pengorbanan, kang Mz.”
Esok paginya, saya ndak mau kompromi lagi dengan pegawai bapak saya. Lah wong anaknya mata-duitan. Saya pun memutuskan untuk berkenalan langsung ke anaknya. Ya, emang agak malu, sih. Tapi, ya gimana lagi. Yang namanya cinta itu bukannya harus diperjuangkan, ya, toh?
Khusus hari itu, saya sudah dandan ganteng-ganteng serigala, buat berkenalan dengan intan. Ya, dengan harapan, semoga Intan tertarik dengan saya. Seperti hari-hari biasanya, saya selalu stand by nungguin adzan duhur di pagar mushollah. Sambil nungguin adzan, saya ngotak-ngatik hp sebentar. Ya, biar dikira orang pentinglah. Pucuk dicinta, syahrini pun terbang dengan naga. Adzan duhur belum berkumandang, eh, Intannya telah tiba. Ancen nek wis rejeki iku ndak akan ke mana-mana, mz. Pas Intannya udah di pagar mushollah, eh, lah kok sayanya malah salah tingkah. Hadeh, badeg.
Di depan pagar mushollah, saya berdehem sebentar: “ehem”, guna mencoba menetralisir suasana yang nampaknya mulai menegangkan bagi saya. Tanpa rasa malu, saya pun menyapanya dengan singkat, “hai” kata saya.
“hai juga” jawabnya, acuh dan tak memandangi saya sekalipun.”boleh kenalan, ndak? namaku rizal, kamu?”
“intan” jawabnya, makin singkat.
Itu adalah percakapan pertama saya dengan Intan. Singkat, membekas, tapi bikin saya penasaran. Ya, sesingkat itu pula perkenalan saya. Sesingkat itu juga saya menilai Intan cuek banget marang aku. Meskipun Intan cuek, saya ndak mau menyerah. Saya ndak menyerah buat kenalan lebih dekat lagi dengan intan. Ada kalimat dari legenda yang selalu saya ingat saat akan melakukan sebuah tindakan. Kalimat yang selalu membuat saya yakin untuk tidak menyerah. Dan kalimat itu berbunyi: “yen usaha keras itu pasti onok hasile, mz. percayalah!“. #MbohArtineOPO
Seperti pada manusia umumnya, malam itu saya jadi kepikiran saat perkenalan dengan intan. Lah, gimana, ya. Saya ngerasa, kayak ga punya malu gitu e. Kalau dipikir-pikir, iya juga, sih. Saya sendiri heran atas tingkah saya saat bertemu dengan intan. Padahal, saya itu belum kenal, loh. Tapi, saya itu bawaannya pengen ketemu sama intan. Lah, kok pas udah ketemu, malah njegidek. Untuk pertama kalinya, saya ndak biasanya seperti itu. Kalaupun emang mau kenalan, ya saya biasa aja. Ndak se-excited gitu.
Karena penasaran akan tingkah saya yang mengherankan itu, malam itu juga saya mengirimkan sebuah pesan singkat ke seorang teman yang menurut saya dia sudah “Ahli Dalam Penafsiran.” Saya biasanya manggil Abah. Ya, meskipun dia seangkatan dengan saya, tapi saya menghormati dia karena tafsirannya kadang-kadang ada benarnya juga, yaaa, meskipun lebih banyak salahnya.
“eh, ba. Hari ini, kok, aku aneh banget, ya” kata saya lewat sebuah pesan singkat.
“aneh lapo yo? rinio nang mushollah, tadarrusan” bunyi pesan balasan dari aba, singkat.
Saya pun bergegas menuju mushollah yang berada tak jauh dari rumah. Sesampainya di mushollah, ternyata abah lagi nyruput wedang jahe.
“ba” sapa saya singkat.
“yo,opo yo,opo?” tanyanya seperti tabib praktek pengobatan.
“jadi gini, ba. Tadi, pas aku jaga toko di pasar, aku kenalan sama pegawai yang kerja di pasar, ba. Lah, kok pas kenalan aku jadi salah tingkah, ya, ba. kenopo toh iku ba?”
“owalah, simple iku, mz”
“simple apane ba?”
“berarti tondone iku, awakmu seneng karo areke. Simple, kan?”
“simple udelmu a ba. Aku ra paham”
“oh setan” kata abah, kesal.
Malam itu pun saya didawuhi sama abah. Katanya, kalau orang sudah naksir/suka sama seseorang, biasanya ada gelagat yang aneh pada saat bertemu dengan orang yang disukainya. Entah itu salah tingkah ataupun salah kamar. #Eh
Continue reading Cerita Bulan Puasa 2014

Dear Kamu


Dear kamu
Barusan aku takbiran di mushollah bareng sama teman-temanku. Tapi aku tidak menunggu sampai selesai. Aku tahu, aku harus menulis ini untukmu. Bukan yang lain. Ya, untukmu. Demi tulisan yang sudah direncanakan Tuhan ribuan tahun yang lalu, aku balik sejenak ke rumah, menulis ini untukmu. Aku tahu, Tuhan pasti sudah merencanakan hal ini untukku.
Awalnya banyak yang ingin aku sampaikan. Tapi entah kenapa, setiap melihat fotomu, aku mendadak lupa. 
Sebelumnya, terima kasih untuk setiap cerita, setiap tawa darimu. Terima kasih atas pesan lintas negaranya. Mungkin kamu lupa, tapi aku tidak. Dua tahun yang lalu, aku pernah cemas. Cemas menantikan kabarmu yang jauh di sana. Hingga pada akhirnya, kamu menyapaku dengan pesan singkat, melalui nomer yang entah dari mana asalnya. Aku tidak peduli. Peduliku hanya ketika membaca pesanmu yang singkat. Saat itu dunia mendadak terasa seperti surga. Dan pesanmu bagaikan embun yang menyejukkan. Jika mengingat itu, aku selalu tertawa kecil. Seperti lelaki perjaka yang baru pertama kali jatuh cinta.
Kamu itu menyebalkan. Berkali-kali aku dibuat rindu sama tingkahmu yang tidak masuk akal. Aneh kan? Ya, kadang rindu memang kayak nasi padang. Tidak enak, tapi bikin ketagihan.
Ah, aku terlalu jauh.
Kamu sekarang lagi ngapain? Coba aku tebak. Pasti lagi menunggu seseorang yang pertama kali mengucapkan selamat kepadamu. Ya kan? Ah semoga bukan aku. Lagian siapa juga aku. Aku kan bagaikan daun kates yang diulek mentah-mentah. Nggak guna.
Sebelum aku tutup, aku ingin mengucapkan terima kasih. Terima kasih atas segala cerita kita. Aku tahu, akan ada masa di mana cerita akan menjadi kenangan. Aku, kamu, adalah penerjemah dari segala skenario Tuhan. Meskipun pada kenyataannya, hanya aku yang bahagia dengan skenarioNya. Tapi kamu, tidak.
Dear kamu, tidak ada yang lebih spesial dari hari ini, hari kelahiranmu. Selamat bertumbuh, mengerti, dan dewasa selalu.
Yang mencintaimu selalu, aku. 
Continue reading Dear Kamu