Selasa, 29 November 2016

Rindu Twitter Zaman Megalitikum



Nggak terasa sudah 7 tahun gue membuat akun Twitter. Awalnya membuat Twitter karena ingin terlihat keren di depan temen-temen. Maklum, saat itu gue masih di pesantren dan yang sedang naik daun saat itu adalah Facebook. Karena gue sudah memiliki akun Facebook, dan alesan ingin terlihat keren di mata temen-temen, gue pun akhirnya bikin akun Twitter meskipun saat itu belum ngerti apa kegunaan aplikasi tersebut. 

Gue masih inget akun yang pertama kali gue follow waktu itu. Nama akunnya adalah @Pepatah. Alesan gue follow pun karena akun tersebut masuk list, 'who to follow'. Gue sempet baca beberapa cuitannya yang berisi kata-kata mutiara sebelum memastikan mengklik tombol follow. Dari akun tersebut, gue tulis satu persatu twitnya di sebuah note kecil yang entah sekarang ada di mana. 

Di dalam note itu, gue suka menulis kata-kata mutiara dari orang-orang terkenal di seluruh dunia yang biasanya ditaruh di pojok kanan atas koran Jawa Pos. Kalau kalian pernah berlangganan koran Jawa Pos dari zaman Romawi kuno, pasti ingat kalau Jawa Pos pernah menampilkan kata-kata mutiara/quote orang-orang keren itu. Tapi, setahun sebelum gue lulus dari Pesantren, gue udah nggak ngebaca lagi kata-kata mutiara karena Jawa Pos menghilangkan kolom tersebut. Gue kangen banget momen ketika berangkat diniyah lalu baca koran di sekolahan dan mencari kolom tersebut. Lalu meulisnya ke dalam note yang gue bawa sebelum memasuki ke kelas. Gue kangen momen itu. 

Semenjak follow @pepatah, referensi gue menulis kata-kata mutiara pun bertambah. Gue seneng. Dari kata-kata itu, kadang gue menjadi guru. Yang mengayomi mereka dengan memberikan kata-kata Jahat buat temen-temen gue yang doyan surat-menyurat dengan kekasihnya meskipun itu kata-kata bukan asli gue yang ngebuat. Btw, di pesantren gue ga dibolehin pacaran. Cuma, ya, namanya anak remaja, pasti bisalah cari-cari kesempatan buat saling jatuh cinta. Mungkin, yang dibutuhkan hanyalah skill jago nyimpen surat biar ga ketahuan pengurus Pesantren. Sebab, kalau kau ketahuan dunia akan terasa seperti kiamat!

Dulu, ketika awal mengenal Twitter, gue belum paham apa itu reply, retweet, ataupun DM. Taunya cuma baca cuitannya orang-orang yang gue follow. Pun untuk membaca sebuah twit, gue harus rela pergi ke warnet terlebih dulu. Berat banget ya? Iya, berat. Kadang kalau ada anak luar pesantren yang ngebawa HP, gue pinjem buat login sebentar sekadar baca-baca twit. Abis itu log out. Sesederhana itu gue main Twitter.

Seiring berjalannya waktu atau tepatnya setelah gue lulus dari pesantren, perlahan Twitter mulai berubah. Pengguna Twitter pun makin meningkat. Perlahan-lahan bahkan ada yang meninggalkan Facebook. Bahkan mereka rela berhijrah dari satu aplikasi, ke aplikasi yang lain. Dampaknya pun bisa gue rasain. Dari Twitter yang sepi pengguna mendadak rame kayak pasar malem. Dari cuitan-cuitan alay berganti haluan menjadi cuitan galau. Ya, gue ngerasain momen awal-awal Twitter meledak di pasaran.

Ada sebuah akun yang isinya motivasi, ada akun yang membahas hubungan jarak jauh, ada yang membahas zodiak, ada pula yang tetap pada jalur remaja hilang arah, cuitannya berisi galau, galau, dan menggalau. Twitter dulu isinya bermacam-macam. Lebih berwarna, lebih beragam dan tentunya lebih asik. Dari keberagaman itu pula, gue pernah ikutan sebuah kuis dari sebuah akun yang isinya menyuruh peserta untuk mempromosikan sebuah akun. Dan pemenangnya ditentukan dari siapa yang ngetwit promosi paling banyak. Gue kalah. Dan pemenangnya gue lihat ngetwit promosi lebih dari 5rb twit. Gendeng emang.

Begitulah isi twitter dulu. Dia masih asik dengan keberagamannya. Sampai suatu ketika, twitter berubah. Menjelang Pilpres 2014, twitter semacam panggung politik. Tiap jam selalu ada saja yang ngetwit membahas Pilpres. Saling menjelekkan satu sama lain.

'Jangan pilih si A. Si A itu suka berak di celana.' Twit seorang pendukung si B.

'Jangan pilih si B. Si B juga ga kalah parah kalau berak.' Sanggah si A, yang sakit hati junjugannya diolok-olok.

24 jam, isinya debat politik. Semenjak menjelang pilpres, gue ngerasa Twitter udah mirip aplikasi khusus debat politik. Orang-orang yang dulu gue follow karena lucu, mendadak menjadi pengamat politik amatiran. Sementara yang baru buat akun Twitter seketika pengen uninstall aplikasinya. Gue sebagai penikmat Twitter hanya bisa menelan ludah dalam-dalam. 

Gue sempet berpikir, bahwa debat politik di Twitter akan selesai setelah Pilpres. Dan setelah itu, Twitter akan kembali normal. Tapi pikiran gue salah. Debat itu masih bergulir sampai sekarang. Dan mungkin, hanya Tuhan yang tau kapan debat politik di Twitter akan berhenti. Karena tiap detik ngomongin politik, pengguna Twitter banyak yang tutup akun. Dan berhijrah ke aplikasi yang lainnya untuk menemukan suasana baru. Sementara gue? Gue tetep memakai Twitter sampai Tuhan berkata waktunya ganti aplikasi.








      



  
Continue reading Rindu Twitter Zaman Megalitikum

Selasa, 22 November 2016

Pantai Sendiki dan Ceritaku



Gue adalah orang yang percaya bahwa setiap perjalanan itu memiliki cerita. Cerita yang baik kadang untuk dikenang. Sedang cerita yang buruk mari kita lupakan. 

Pagi itu, gue belum mandi. Tidak seperti temen-temen gue yang telah cebur-cebur enak di Pantai Goa China. Gue belum mandi karena: gue tidak berenang di Pantai yang ramenya tidak masuk akal. Kedua: dingin yang menusuk jantung membut gue pengin jauh-jauh dari air. Ketiga: gue memang malas mandi di pagi hari.

Sewaktu masih di Pantai Goa China, gue berdebat dengan temen gue. Pagi yang mendung membuat temen gue pesimis bahwa mendung juga dipastikan menghampiri Pantai Sendiki (tujuan pantai selanjutnya). Bukan bermaksud mendahului takdir Tuhan, tapi setidaknya seperti itulah gambaran cuaca sebagian kota Malang pagi itu. Tak sedikit yang menolak ajakan gue menuju ke sana. Dari sebelas anak, empat anak mengajak langsung pulang. Sementara sisanya mengikuti suara terbanyak.

Selain kondisi cuaca yang tak mendukung, temen gue juga mempermasalahakan jalanan menuju Pantai Sendiki yang konon katanya lebih horor dari Pantai Kondang Merak, yang jeblok dan berbatu. Lama kami berdebat, keputusan pun dibuat. Kami menuju Pantai Sendiki pagi itu.

Sepanjang perjalanan, mendung mulai memudar. Cahaya matahari perlahan menyengat di kulit gue. Tentu, cuaca seperti ini yang sangat gue aminkan. Sesampainya di tugu bertuliskan Pantai Sendiki, gue berdoa supaya jalanan yang digambarkan temen gue dalam cerita itu, tak sehoror perkataannya. Kami melewati sebuah perkampungan kecil yang beralaskan aspal yang masih mulus, sebelum diberhentikan oleh jalanan yang ....





Madafaka! Setelah berkendara kurang lebih 1 KM dari tugu bertuliskan Pantai Sendiki, akhirnya gue menemukan apa itu jalanan neraka. Jalanan jeblok, berair. Gue pikir, hanya orang yang memiliki skill khusus yang bisa melalui jalanan tersebut. Bagaimana tidak, kalian salah ambil jeblokan, resikonya bisa terpeleset. Kalau beruntung, palingan motor kalian miring sedikit. Selebihnya, skill kalian yang berbicara.



Di pertengahan jalan, gue bertemu dua sejoli yang lagi jalan kaki menuju pantai. Gue gak kenal mereka itu siapa. Tapi, menurut gue, ini keren! Jika pacar kalian mau diajak jalan kaki di kubangan lumpur, maka jangan ragu untuk kalian nikahin!

Kami pun berhenti di pertengahan. Jalanan yang semakin memburuk membuat sebagian temen-temen gue pesimis untuk melanjutkan perjalanan. Kekecewaan terlihat dari mukanya yang ditekuk. Raut muka memang tak bisa dibohongi.

'Udah, balik aja! jalanannya gak memungkinkan ini.'

'Nanggung, mbot! Wes kate totok iki.' Teriak temen gue yang khas dengan logat jawanya yang kental.



Tak sedikit memang yang mengurungkan niat menuju Pantai Sendiki. Beberapa orang yang ga gue kenal memilih untuk putar balik daripada melanjutkan perjalanan. Mungkin, mereka memiliki alasan lain selain kekecewaan terhadap jalanan yang berlumpur. Tapi, untungnya kekecewaaan itu tak dirasakan oleh seluruh temen-temen gue. Kebayang udah nyampe tengah jalan, motor dah kotor, eh malah putar balik. Ibarat sebuah perang, orang-orang yang putar balik ini adalah orang-orang yang tak melihat surga di depannya. #HalahMbel

Sebenarnya, warga sekitar sudah menyewakan jasa ojek. Kita bisa saja menyewa jasa ojek dari warga sekitar itu. Harganya pun tak cukup mahal. Hanya 10rb sekali perjalanan. Rasanya, dengan harga seperti itu cukup murah daripada motor kalian mendadak terlihat seperti abis partisipasi dalam film Mad Max: Fury Road. Tapi temen-temen gue menolak menggunakan ojek. Pertama, untuk menghemat biaya. Yang kedua, demi terlihat seperti My Trip My Adventure kayak di tv-tv. Alasan yang sangat entahlah.

Puas melewati jalanan Neraka, akhirnya gue sampai di depan loket Pantai Sendiki. Biaya masuk cuma 5rb dan ditambah biaya parkir 5rb. Total, kami mengeluarkan biaya 10rb per motor.

Setelah selesai memarkirkan motor, kami masih harus menaiki jalanan yang agak tinggi. Jalanan yang tersusun seperti anak tangga. Lebih kurang sekitar 300 meteran, kalau gue nggak salah. Soalnya gue nggak ngitung. Yang jelas, jika kalian telah menaiki jalanan tersebut, gue jamin nyampek di pantai kalian ngos-ngosan. Percaya sama gue! Tapi rasa ngos-ngosan itu akan terbayarkan oleh pemandangan dari Pantai Sendiki. 






Kalau boleh jujur, Pantai Sendiki itu bagus. Yang jelek itu Attitude mantan kamu, dek. Gue hanya bisa bengong ngeliat Pantai Sendiki. Karena cuaca yang begitu panas, gue memilih neduh sebentar sebelum mencari spot buat foto-foto. 

Nggak seperti pantai-pantai di Malang yang lainnya, yang memiliki banyak karang, di Pantai Sendiki gue hanya melihat satu karang yang cukup jauh dari bibir pantai. Tentu, ini modal positif bagi gue yang nggak jago-jago amat motret Pantai. Maklum, terakhir kali motret pantai yang ada karangnya, gue dibilang tukang foto abal-abal. Lah emang gue bukan tukang foto Ya, Allah...

Nggak cuma pemandangannya aja yang cakep. Di Pantai Sendiki juga ada semacam bangunan yang lebih mirip rumah-rumah singgah, gitu. Tapi gue nggak tau, bisa dibuat nginep apa enggak. Soalnya pas gue foto, pintunya ketutup. 



Buat yang doyan ngopi-ngopi sore sambil ngelihat air laut menghantam bibir pantai, Pantai Sendiki juga menyediakan tempat buat nongkrong. Sayangnya, pas gue kemarin ke sana tempatnya nggak digunakan dengan semestinya. Yang seharusnya di meja hanya diisi oleh makanan ataupun minuman, tapi pengunjung malah menjadikannya sebagai tempat menaruh tas. Sungguh perbuatan yang dzolim. 



Sebagai penutup, gue merasa lelah gue terbayarkan dengan suguhan pemandangan yang cukup ngebuat gue berdecak kagum. Jangan pernah takut untuk datang ke Pantai Sendiki karena jalanan yang sungguh menggoyahkan iman. Percayalah, semua itu akan terbayarkan setelah kaki kalian menginjak pasir pantai. Percayalah!

Saran gue, biar nggak terlalu melelahkan, lebih baik kalian bangun tenda di sana dan bermalam di bibir pantai. Kalau saja saat itu gue tau bakal sedemikian lelahnya, gue lebih memilih menginap di sana. Sayangnya nggak ada satupun dari kami yang membawa tenda. Bisa sih menginap, tapi beralaskan dedaunan. Terpaksa, niatan menginap pun kami urungkan.

Buat yang takut motornya terlihat seperti abis ikut partisipasi Film Mad Max: Fury Road, jangan takut! Warga sekitar juga menyediakan kamar mandi yang di dalamnya bisa kalian buat mandi ataupun membersihkan motor kalian menggunakan selang. Warga pun nggak mematok berapa biaya yang harus dibayar. Tapi, ya, kalian harus sadar dirilah. Masak 5 motor yang dibersihkan cuma bayar 10rb. Bisa-bisa ban motor kalian didoakan meletus setelah berjalan 10 meter.


Gue? cari aja yang paling ganteng.
Sekian dulu ceritanya. Ingat! Sebelum berpergian, selalu ingat pesan mama. Jangan lupa berdoa!



NB: Buat kalian yang ingin bertanya, boleh loh lewat kolom komentar. Ciaooo...

Continue reading Pantai Sendiki dan Ceritaku